TK PGRI Plumbungan I Jadi Sorotan: Dugaan Kekerasan Seksual Anak, Orang Tua Murid Resah dan Minta Tindakan Tegas

Berita Istana
6 Min Read

Sragen — Dunia pendidikan kembali tercoreng. TK PGRI Plumbungan I, yang satu atap dengan SDN Plumbungan I, kini menjadi sorotan tajam publik setelah mencuat dugaan serangkaian tindakan tidak pantas yang melibatkan seorang murid terhadap teman-temannya. Kejadian yang disebut sudah berulang ini memicu keresahan mendalam para orang tua wali murid.

Dedy, salah satu orang tua murid, mengungkapkan bahwa awal mula persoalan terjadi ketika dirinya dipanggil pihak sekolah untuk menghadiri pertemuan secara lisan. Tujuannya, kata pihak sekolah, adalah mempertemukan orang tua guna melakukan mediasi atas kenakalan anak yang dinilai sudah di luar batas kewajaran.

Dedy pun memenuhi undangan tersebut dengan itikad baik, berharap pertemuan bisa menjadi jalan keluar yang damai. Namun situasi justru memanas. Setibanya di TK PGRI Plumbungan I, Dedy mengaku mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari Johan, orang tua murid berinisial AK.

“Begitu datang, saya malah ditantang. Dia bilang, kamu ke sini mau bicara apa mau kelahi,” ujar Dedy, menirukan ucapan Johan saat ditemui di sebuah kafe di wilayah Sragen, Sabtu (13/12/2025).

Lebih memprihatinkan, Dedy mengungkapkan bahwa korban bukan hanya putrinya. Ia menyebut anaknya diduga menjadi korban tindakan tidak senonoh berupa penusukan pada area vital menggunakan tangan dan kayu. Selain itu, terdapat korban lain yang mengalami kekerasan dengan alat sendok hingga bagian putih mata tampak berdarah. Seorang anak lain berinisial KL juga diduga mengalami pelecehan dengan cara diobok-obok menggunakan tangan.

Rangkaian kejadian tersebut membuat para orang tua wali murid ketakutan. Mereka menuntut pengawasan ketat di lingkungan TK PGRI Plumbungan I dan meminta pihak sekolah bertindak tegas. Bahkan, sebagian wali murid mendesak agar anak yang diduga menjadi pelaku dikeluarkan dari sekolah karena jumlah korban dinilai sudah banyak.

“Ini bukan sekali dua kali. Kejadian sudah berulang, kami takut anak kami jadi korban berikutnya,” ungkap salah satu wali murid.

Para orang tua juga meminta agar persoalan ini difasilitasi di tingkat kelurahan agar ada kejelasan dan jaminan perlindungan anak. Mereka menilai penyelesaian internal sekolah saja tidak cukup.

Menanggapi hal tersebut, Anang selaku Kepala TK PGRI Plumbungan I berjanji akan melakukan pembinaan terhadap murid yang dinilai terlalu nakal. Ia menyebut pihak sekolah telah menggelar mediasi dengan melibatkan beberapa guru, di antaranya Yuni, Tias, dan Ana. Berdasarkan keterangan wali murid, jumlah murid di TK tersebut sekitar 38 anak.

Namun persoalan lain juga mencuat. Salah satu wali murid mengeluhkan adanya penagihan tunggakan SPP yang dilakukan melalui pesan WhatsApp oleh Yuni, salah satu guru. Orang tua tersebut mengaku berada dalam kondisi ekonomi sulit.

“Saya ini orang tidak mampu. Bisa makan saja sudah senang. Saya tidak pernah dapat bantuan dari pemerintah desa, sementara suami saya sedang sakit,” tuturnya dengan nada pilu.

Lebih lanjut, para orang tua wali murid menyampaikan kekecewaan mendalam terhadap sikap Johan selaku orang tua dari anak yang diduga terlibat dalam peristiwa tersebut. Menurut mereka, persoalan ini sejatinya bisa mereda apabila yang bersangkutan menunjukkan itikad baik.

“Seandainya Johan cukup menyampaikan permintaan maaf secara terbuka, persoalan ini sebenarnya sudah selesai. Kami tidak menuntut macam-macam,” ungkap salah satu wali murid.

Namun kenyataannya, lanjut para orang tua, sikap yang ditunjukkan justru berbanding terbalik. Alih-alih meminta maaf dan menenangkan situasi, Johan dinilai bersikap menantang dan memancing emosi, sehingga memperkeruh suasana mediasi yang seharusnya berjalan kondusif.

“Yang kami harapkan itu etika dan tanggung jawab sebagai orang tua. Tapi yang terjadi malah tantang-menantang. Tidak ada itikad baik sama sekali,” tegas para wali murid.

Para orang tua menegaskan, sikap tersebut semakin memperkuat kekhawatiran mereka akan keselamatan anak-anak di lingkungan sekolah. Mereka berharap ada langkah tegas dan bijak dari pihak sekolah serta pemangku kebijakan agar peristiwa serupa tidak kembali terulang.

Lebih lanjut, sejumlah orang tua wali murid mengungkapkan adanya dampak psikologis yang dialami anak-anak pascakejadian tersebut. Bahkan, salah satu wali murid menyebut anaknya kini enggan berangkat ke sekolah lantaran merasa takut setelah diduga pernah mendapat perlakuan fisik berupa sentilan dari salah satu guru.

“Anak saya sampai tidak mau sekolah. Katanya pernah disentil guru, jadi takut dan trauma,” ungkap salah satu orang tua dengan nada cemas.

Para wali murid menilai bahwa tindakan fisik, sekecil apa pun bentuknya, tidak semestinya terjadi di lingkungan pendidikan anak usia dini. Mereka menegaskan bahwa sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman, nyaman, dan ramah bagi tumbuh kembang anak, bukan justru menimbulkan rasa takut.

Keluhan tersebut semakin memperkuat tuntutan para orang tua agar pengawasan dan evaluasi terhadap tenaga pendidik di TK PGRI Plumbungan I benar-benar dilakukan secara menyeluruh, guna mencegah munculnya korban baru dan memulihkan kepercayaan wali murid terhadap pihak sekolah.

Sorotan juga datang dari Panji Riyadi,SH.,MH,CMe. Ia menegaskan bahwa kenakalan anak pada usia TK memang bisa terjadi, namun kasus ini berbeda.

“Kalau sekadar nakal itu biasa. Tapi ini sudah mengarah ke organ vital teman-teman perempuannya dan terjadi berulang. Ini tidak bisa dianggap sepele,” tegas Panji.

Kasus ini kini menjadi perhatian serius masyarakat. Para wali murid mendesak adanya langkah konkret, transparan, dan berpihak pada keselamatan serta masa depan anak-anak, agar dunia pendidikan benar-benar menjadi ruang aman, bukan tempat trauma.(iTO)

Share This Article
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *