INHU – Pengelolaan lahan sitaan negara seluas 1.261 hektare di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau, menuai kontroversi. Polemik muncul karena status hukum yang dinilai belum sepenuhnya jelas, serta hasil pengelolaan lahan yang diserahkan kepada Agrinas KSO PT Tiga Raja Mas disebut tidak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat setempat.
Lahan sitaan negara tersebut sejatinya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat, sejalan dengan visi-misi Presiden Republik Indonesia H. Prabowo Subianto dalam program Asta Cita, khususnya agenda Reforma Agraria yang menegaskan pengambilalihan kembali lahan negara yang dikuasai secara ilegal oleh korporasi besar untuk didistribusikan demi kepentingan rakyat.
Namun, realita di lapangan justru memunculkan persoalan baru. Negara baru-baru ini menyita lahan perkebunan sawit eks PT IP seluas 1.261 hektare, yang kemudian pengelolaannya diserahkan kepada Agrinas Palma Nusantara melalui kerja sama operasional (KSO) dengan PT Tiga Raja Mas.
Tokoh masyarakat Desa Sungai Akar, Hendrik Marbun, kepada Metro24.co.id menyampaikan kekecewaannya. Ia menilai, nilai-nilai Asta Cita yang dijanjikan Presiden belum dirasakan oleh masyarakat desa.
“Saat ini kami masyarakat Desa Sungai Akar justru menghadapi konflik hukum akibat ulah PT Tiga Raja Mas. Apa yang disampaikan Presiden tentang kesejahteraan rakyat belum kami rasakan,” ujar Hendrik, Minggu (14/12/2025).
Hendrik mengaku tidak menyangka lahan sitaan negara yang seharusnya menjadi solusi kesejahteraan rakyat justru berubah menjadi sumber konflik. Masyarakat berharap dapat menikmati hasil Tandan Buah Segar (TBS) dari perkebunan yang dikelola, namun yang terjadi justru intimidasi dan kekerasan.
“Kami ingin tahu hasil TBS yang dikelola Agrinas KSO PT Tiga Raja Mas. Tapi yang kami terima justru ancaman dan kekerasan,” ungkapnya.
Menurut Hendrik, upaya dirinya memperjuangkan hak masyarakat Desa Sungai Akar berujung pada ancaman serius, bahkan ancaman penganiayaan yang diduga datang dari pihak PT Tiga Raja Mas.
Masyarakat mempertanyakan transparansi hasil TBS dari lahan seluas 1.261 hektare tersebut. Hingga kini, warga mengaku tidak pernah mengetahui secara jelas hasil panen, alur pendapatan, maupun bukti penyetoran pajak. Saat masyarakat meminta kejelasan, mereka justru mendapat perlakuan kasar dari pihak ketiga yang diduga terkait dengan perusahaan.
Kontroversi ini semakin memanas setelah terjadi kericuhan yang berujung penganiayaan. Insiden tersebut mengakibatkan enam orang warga menjadi korban kekerasan brutal, mengalami luka serius akibat benda tajam. Peristiwa itu bermula di luar area Desa Sungai Akar dan berlanjut hingga menimbulkan korban.
Atas kejadian tersebut, Hendrik Marbun bersama masyarakat Desa Sungai Akar telah melaporkan peristiwa ini ke aparat penegak hukum. Laporan resmi tercatat pada Rabu, 27 November 2025, dengan Nomor:
LP/B/449/XI/2025/SPKT/POLSEK BUKIT RAYA/POLRESTA PEKANBARU/POLDA RIAU,
dengan dugaan pelanggaran UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP Pasal 170 KUHP.
Peristiwa penganiayaan tersebut terjadi di Kantor PT Tiga Raja Mas di Pekanbaru, sementara proses hukum terkait kekerasan akan ditangani oleh Polres Indragiri Hulu.
Hendrik menilai tindakan kekerasan yang dilakukan oknum terkait perusahaan merupakan skenario untuk menutupi dugaan ketidakjelasan pendapatan TBS yang selama ini menjadi sorotan masyarakat.
Melalui pemberitaan ini, pihaknya berharap agar kasus penganiayaan segera diproses secara hukum, serta pengelolaan dan hasil TBS dibuka secara transparan oleh PT Tiga Raja Mas.
“Kami meminta aparat penegak hukum, baik pusat maupun daerah, mengambil langkah tegas dan preventif agar persoalan ini tidak menimbulkan konflik berkepanjangan. Apalagi saat ini masyarakat sedang berada dalam suasana duka akibat bencana,” pungkasnya.
(Holmes Pane, S.H. (UG))