
BOGOR – Konflik agraria berkepanjangan antara masyarakat Desa Sukamulya, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor dengan pihak TNI AU Lanud Atang Sendjaya (ATS), kini resmi berada di tangan Presiden Prabowo Subianto. Pada Kamis (5/6/2025), Ketua Koordinator Forum Masyarakat Desa (FMD) Sukamulya, Junaedi Adhi Putra, menyerahkan langsung surat permintaan audiensi kepada Presiden di Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, Jakarta.
Surat bernomor 01-05/Srt/FMD/Skm/IV/2025 itu menyuarakan keresahan warga terhadap eskalasi konflik yang dianggap telah mengganggu kehidupan dan ketentraman masyarakat.
“Personel TNI AU Cq. ATS di lapangan kerap melakukan intimidasi terhadap masyarakat, khususnya terhadap mereka yang sedang membangun di atas lahannya sendiri,” kata Junaedi saat ditemui usai penyerahan surat.
Ia menambahkan, pihak ATS bersikeras mengklaim bahwa tanah-tanah yang disengketakan adalah aset negara yang tidak boleh dikelola warga, meski klaim tersebut tidak disertai bukti kepemilikan sah berdasarkan regulasi pertanahan nasional.
“Sebagai contoh, beberapa waktu lalu personel ATS memasang plang secara sepihak di atas tanah milik warga, dan menghambat aktivitas usaha masyarakat yang hendak mengelola lahannya,” tambahnya.
Menurut Junaedi, konflik ini bukan hal baru. Pada 2012 telah dilakukan verifikasi bersama yang menghasilkan kesimpulan bahwa lahan milik TNI AU di Desa Sukamulya hanya sekitar 75 hektare. Rinciannya antara lain berdasarkan SK Menteri Agraria dan SK Bupati Bogor seluas 36,6 hektare, pembebasan paksa pada 2006–2007 seluas 24 hektare, area water training 5 hektare, dan pembebasan pada 2012 seluas 10 hektare.
Namun, upaya yang disebut Junaedi sebagai “sistematis, terstruktur, dan masif” terus dilakukan oleh pihak ATS untuk melegitimasi dasar hukum lama seperti KSAP/1950 dan GS/57. Bahkan, dua sertifikat hak milik warga Desa Sukamulya telah dibatalkan melalui gugatan di PTUN Bandung, sebuah langkah yang menurutnya bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 dan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
Junaedi menegaskan bahwa penyelesaian konflik ini hanya bisa dilakukan melalui keputusan politik tertinggi.
“Kami mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk turun tangan langsung dan menyelesaikan persoalan ini. Hanya melalui kebijakan beliau, konflik ini bisa diakhiri,” ujarnya.
Secara historis, konflik ini bermula dari klaim sepihak TNI AU atas lahan seluas 1.000 hektare di Desa Sukamulya, yang disebut sebagai warisan dari pendudukan Jepang. Klaim tersebut dimasukkan dalam Inventaris Kekayaan Negara (IKN) pada 2009. Padahal, Desa Sukamulya dengan luas 1.070 hektare telah dihuni masyarakat secara turun-temurun sejak sebelum kemerdekaan Indonesia. Tanah-tanah tersebut telah terdaftar dalam buku tanah desa (C Desa), bahkan sebagian telah bersertifikat resmi.
Masyarakat berharap, dengan surat yang kini telah berada di tangan Presiden, akan ada solusi konkret yang berpihak pada keadilan dan kepastian hukum bagi warga Desa Sukamulya. (Hari Setiawan)