Mediasi Rasa Tipu-Tipu di PN Sorong: Bayar Dulu, Bukti Belakangan?

Sorong – Tokoh Pewarta Warga Indonesia, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA., menumpahkan kritik tajam terhadap praktik mediasi perkara perdata di Pengadilan Negeri (PN) Sorong dalam sebuah opini yang ia tulis pada Senin, 9 Juni 2025. Alumni Etika Global dan Etika Terapan dari tiga universitas ternama di Eropa—Universitas Utrecht (Belanda), University of Birmingham (Inggris), dan Linköping University (Swedia)—itu menyebut mediasi tersebut menyerupai praktik “membayar kucing dalam karung”.

Dalam tulisannya berjudul “Mediasi ala Bayar Kucing dalam Karung’ di PN Sorong”, Lalengke menyoroti kegagalan mediasi sebagai indikasi matinya prinsip transparansi dan keadilan substantif dalam sistem hukum.

“Jika keadilan tak bisa dicapai di meja mediasi, maka sia-sialah semua seruan moral dalam sistem hukum kita,” tegasnya.

Wilson Lalengke mengawali kritiknya dengan analogi sistem pemilu Orde Baru—di mana rakyat mencoblos lambang partai tanpa tahu siapa calon wakilnya—sebagai bentuk pengambilan keputusan yang penuh ketidakpastian dan jebakan. Ironisnya, pola lama itu kini menurutnya bermetamorfosis dalam dunia hukum modern: para pihak dalam perkara justru diminta ‘membayar’ untuk sesuatu yang tidak jelas legalitas dan objeknya.

*Kasus Tanah di Atas Laut*

Kasus yang dimaksud adalah gugatan PT. Bagus Jaya Abadi (BJA) terhadap Hamonangan Sitorus. Dalam proses mediasi, kuasa hukum penggugat menawarkan skema “bagi dua” lahan sengketa dan kompensasi sebesar Rp 2,5 miliar. Namun, mereka menolak menjelaskan dasar hukum atas klaim tersebut.

Ketika diminta menunjukkan legalitas tanah atau akta hak milik, jawaban mereka mengambang: “Itu materi pokok perkara.”

“Logika hukumnya absurd: meminta lawan untuk membayar miliaran, tapi tidak mau menunjukkan akta hak milik. Ini bukan hanya melecehkan akal sehat, tetapi juga menyalahi prinsip paling dasar dalam mediasi—transparansi dan itikad baik,” tulis Wilson Lalengke.

Baca Juga:  Polres Pasuruan Terima Kunjungan Dir Pam Obvit Mabes Polri, Bahas Keamanan Destinasi Wisata

Lebih mengejutkan lagi, hakim mediator, Rivai Rasyid Tukuboya, S.H., dinilai tidak mendorong keterbukaan. Mediasi malah diarahkan segera ke persidangan pokok perkara. Bagi Lalengke, sikap ini mengaburkan fungsi mediasi sebagai ruang pencarian solusi berbasis kejujuran dan saling pengertian.

Permintaan tergugat, Hamonangan Sitorus, menurut Lalengke, sangat rasional: cukup ingin tahu posisi objek tanah yang disengketakan. Berdasarkan data, lahan yang dimaksud justru berada di atas laut.

“Bagaimana mungkin ada hak milik atas kawasan laut? Ini menunjukkan klaim yang tidak masuk akal,” kritiknya tajam.

*Etika dalam Sidang: Hanya Formalitas?*

Sebagai akademisi di bidang etika terapan, Lalengke menyatakan bahwa mediasi bukanlah sekadar proses formal. Ia adalah forum moral di mana semua pihak seharusnya terbuka dan beritikad baik.

“Keputusan yang baik bukan hanya benar secara hukum, tetapi juga harus adil secara moral. Ketika ada ketimpangan informasi dan niat manipulatif, tapi dibiarkan begitu saja oleh mediator, itu adalah pelanggaran terhadap prinsip keadilan prosedural dan substantif,” tegasnya.

Wilson Lalengke pun menyuarakan keprihatinan yang lebih luas: jika praktik seperti ini dibiarkan, ruang sidang bisa berubah menjadi pasar gelap transaksi tak jelas. Ini bisa menggerus kepercayaan publik terhadap hukum sebagai instrumen keadilan.

*Seruan untuk Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial*

Dalam penutup opininya, Lalengke menyerukan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk segera melakukan audit etik dan evaluasi atas praktik mediasi di PN Sorong.

“Jangan biarkan sistem peradilan kita jadi ladang ‘jual beli kucing dalam karung’. Kita tidak sedang bermain sulap di ruang sidang,” pungkasnya.

Tulisan ini menjadi pengingat tajam bahwa hukum yang adil bukan hanya soal prosedur, tetapi juga soal nurani. **

Baca Juga:  Polres Boyolali Gelar Konferensi Pers Ungkap Kasus Kekerasan Terhadap Anak: Satu Tersangka Diamankan

#editor: Syarif Al Dhin

Bagikan ini:

Gawat! Internet Lokal di Desa Jatisari Kebumen Diduga Tak Berizin, Warga Minta APH Bertindak
Kebumen – Keberadaan jaringan internet lokal di Desa Jatisari, Kecamatan/Kabupaten…
Atraksi Debus Rambo 4294 Tatung Ramaikan Festival 620 Tahun Menyambut Kedatangan Laksamana Cheng Ho di Semarang
SEMARANG – Peringatan 620 tahun kedatangan Laksamana Cheng Ho digelar…
Suci Asal Pakel Tulungagung Kritik Kades lan Camat Sing Doyan Karaoke Mangku Pure lan LC
Tulungagung – Salah siji warga Pakel, Tulungagung, jenenge Suci, dadi…
KPK Akan Jadwalkan Panggilan Anggota DPRD Pasuruan Terkait Kasus Dana Hibah Pokmas Jatim
Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadwalkan pemanggilan terhadap Rudi…
Format Desak Penutupan Gempol 9, Surati Bupati Pasuruan
Pasuruan, 28 Juli 2025 — Lembaga Forum Rembuk Masyarakat (FORMAT)…
Desa Gilirejo Baru Sragen Terima Hewan Kurban dari Presiden Prabowo Subianto
Sragen, Jawa Tengah – Desa Gilirejo Baru, Kecamatan Miri, Kabupaten…
Dugaan Penyerobotan Tanah Tanpa Sepengetahuan Pemilik, LPK RI Desak Polisi Bertindak
Nganjuk, 15 Juni 2025 – Dugaan kasus penyerobotan tanah kembali…
BPAN Jawa Tengah Pergoki Truk Muatan Solar Subsidi di Jalan Purwodadi–Semarang, Arifin: Lapor Polisi Tak Direspon
GROBOGAN – Badan Penelitian Aset Negara Lembaga Aliansi Indonesia (BPAN-LAI)…
Polemik Makam Cina Prigen Tak Berizin, Dinas Terkait Diminta Bertindak Tegas
Pasuruan – Polemik keberadaan makam Cina atau yang biasa disebut…
Kadus Kebon Agung Grobogan Viral Diduga Selingkuh dengan LC, Warga Resah
GROBOGAN – Warga Kecamatan Tegowanu, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, digegerkan…