JAKARTA – Wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali mengemuka setelah Forum Purnawirawan TNI menyuarakan keprihatinan terhadap proses pencalonannya dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Namun, pakar hukum tata negara menegaskan bahwa pemakzulan tidak bisa dilakukan sembarangan dan harus berlandaskan pembuktian hukum yang sahih sesuai konstitusi.
Menurut Dr. Yance Arizona, pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), mekanisme pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah diatur secara tegas dalam Pasal 7A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal tersebut menetapkan bahwa pemakzulan hanya dapat dilakukan jika terdapat bukti bahwa pejabat terkait melakukan pelanggaran hukum berat, seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, kejahatan berat lainnya, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wakil Presiden.
“Kalau kita kaitkan dengan impeachment clauses yang ada di Pasal 7A, kita belum melihat cantelan hukum yang jelas untuk memberhentikan Gibran sampai hari ini,” ujar Yance dalam keterangannya, dikutip dari situs resmi UGM, Rabu (11/6/2025).
Ia menjelaskan, meskipun terdapat dugaan pelanggaran etik atau manipulasi dalam proses pencalonan Gibran, hal itu tetap perlu dibuktikan secara hukum. Jika terbukti terdapat intervensi kekuasaan dalam proses pencalonan, maka hal tersebut bisa dikategorikan sebagai perbuatan tercela atau pelanggaran terhadap syarat konstitusional.
“Kalau memang Gibran atau orang tuanya, mantan Presiden Jokowi, terlibat dalam manipulasi proses persidangan MK atau di KPU, itu bisa dijadikan dasar untuk melihat ada manipulasi yang sudah terjadi dan sebenarnya Gibran tidak memenuhi syarat sebagai calon Wakil Presiden,” tegasnya.
Yance juga menyoroti soal batas usia calon Presiden dan Wakil Presiden yang telah ditetapkan dalam UUD 1945, yakni minimal 40 tahun. Gibran diketahui belum mencapai usia tersebut saat dilantik sebagai Wakil Presiden. Menurut Yance, jika ada bukti bahwa ketentuan ini dilanggar secara sistematis dan disengaja, maka hal tersebut bisa membuka ruang pemakzulan.
Kendati demikian, Yance menekankan bahwa segala proses pemakzulan harus dimulai dari jalur hukum yang tepat. Salah satunya melalui pembentukan panitia angket di DPR atau melalui gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terhadap keabsahan pencalonan Gibran.
“Pendekatan hukum yang sahih harus dimulai dari DPR atau lewat jalur PTUN. Kedua jalur ini membuka ruang pembuktian atas dugaan manipulasi dan pelanggaran syarat usia dalam pencalonan,” terangnya.
Ia mengingatkan bahwa pemakzulan bukanlah produk tekanan politik atau respons atas opini publik yang gaduh, melainkan langkah hukum serius yang harus berdasarkan fakta dan bukti yang kuat.
“Jika memang terbukti, itu bisa jadi dasar impeachment karena menyangkut syarat konstitusional. Tapi tetap harus dibuktikan secara hukum, bukan sekadar tekanan politik,” pungkasnya.