Pasuruan – Rabu, 25 Juni 2025 |
Ketua Pembina Yayasan Bantuan Hukum Fajar Panca Yudha yang juga Dosen Fakultas Hukum Universitas Yos Soedarso Surabaya, Iskandar Laka, S.H., M.H., menyoroti tajam aktivitas ilegal dan dugaan pelanggaran norma di tempat hiburan malam Gempol 9. Tempat yang semula merupakan rumah dan toko (ruko), kini beralih fungsi menjadi café yang diduga melanggar berbagai aturan dan norma masyarakat.
Iskandar menyebut, kegiatan di Gempol 9 diduga kuat mengandung unsur asusila dan melanggar sejumlah Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Pasuruan, khususnya yang mengatur tentang ketertiban umum, perizinan, moralitas, serta tata ruang dan zonasi wilayah.
- Perda No. 2 Tahun 2017
Tentang Ketertiban Umum dan Perlindungan Masyarakat
Perda ini menjunjung asas kepastian hukum, kejujuran, keadilan, keterbukaan, dan nondiskriminatif. Menurut Iskandar, praktik yang terjadi di Gempol 9 telah mencederai prinsip-prinsip tersebut. - Perda No. 3 Tahun 2017
Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Prostitusi
Pemerintah Daerah bersama masyarakat dan keluarga memiliki tanggung jawab untuk mencegah pelacuran. Polisi Pamong Praja (Satpol PP) juga memiliki kewenangan dalam melakukan penindakan terhadap aktivitas pelacuran. - Perda No. 15 Tahun 2012
Tentang Pungutan Retribusi atas Pemberian Izin
Diperlukan izin resmi untuk setiap perubahan fungsi bangunan dan usaha, yang dalam kasus ini tidak terlihat diikuti oleh Gempol 9. - Perda No. 7 Tahun 2019
Tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi Kabupaten Pasuruan
Café Gempol 9 diduga berdiri di zona yang tidak sesuai dengan peruntukan tata ruangan.
Iskandar Laka menyesalkan pembiaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah, khususnya oleh Penegak Perda (Satpol PP) dan Aparat Penegak Hukum (APH). Ia menyebut tidak ada langkah konkret dari para pemangku kebijakan dalam menangani kasus ini, meski ramai diperbincangkan di media sosial dan menjadi viral di TikTok.
“Banyak pelanggaran yang terjadi di Gempol 9, namun seakan-akan dibiarkan begitu saja. Tidak ada tindakan nyata dari pemangku kebijakan dan aparat. Ini sangat disayangkan,” ujar Iskandar.
Iskandar juga mengungkapkan keprihatinannya atas perubahan citra Kabupaten Pasuruan yang dulu dikenal sebagai Kota Santri. Kini, menurutnya, Pasuruan mulai dikenal sebagai kota hiburan malam, dengan maraknya café-café yang diduga menyajikan miras dan menyediakan pemandu lagu (LC) dalam ruang-ruang karaoke.
“Pasuruan yang dulu dikenal religius kini seakan berubah menjadi kota purel. Apakah ini yang dimaksud Bupati H. Rusdi Sutejo sebagai langkah menuju kemajuan Kabupaten Pasuruan?” kritiknya dengan nada prihatin.
Maraknya pemberitaan soal Gempol 9, baik di media sosial maupun media massa, menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Praktisi hukum dan pengamat kebijakan mendesak adanya tindakan tegas dan transparan dari pemerintah daerah dan aparat penegak hukum.
Publik kini menanti langkah nyata dari Pemerintah Kabupaten Pasuruan, agar kota yang dahulu dijuluki Kota Santri ini tidak berubah arah menjadi kota hiburan malam yang jauh dari nilai-nilai moral dan agama.