Sragen — Polemik kurang sedap kembali mengguncang Desa Donoyudan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen. Beredar isu liar bahwa Kepala Desa Donoyudan menolak menandatangani berkas terkait penguasaan tanah warga. Namun, hasil investigasi Tim Berita Istana di lapangan menemukan fakta berbeda dari rumor yang tersebar di masyarakat ujung barat Sragen tersebut.
Kades Poniman: “Jangankan satu lembar, seratus lembar pun saya tanda tangani asal sesuai prosedur”
Saat ditemui awak media, Poniman, Kepala Desa Donoyudan, dengan tegas membantah isu yang menyudutkan dirinya.
“Jangankan satu lembar, seratus lembar pun saya siap menandatangani, asalkan sesuai prosedur. Selama ini tidak ada warga yang kami persulit. Semua yang meminta tanda tangan, pasti saya layani sesuai aturan,” tegas Poniman.
Poniman menjelaskan bahwa sebagai pelayan masyarakat, ia bersama perangkat desa selalu berhati-hati agar setiap tanda tangan maupun stempel desa tidak menjerumuskannya ke dalam persoalan hukum.
Perbedaan Data Leter C Jadi Sumber Masalah ; Menurut Poniman, persoalan yang muncul bukan karena dirinya menolak tanda tangan, melainkan karena ketidaksesuaian data objek tanah.
Ia menerangkan bahwa Leter C Desa Donoyudan hanya tercatat sampai nomor 1662. Namun, pihak yang meminta tanda tangan justru membawa Leter C dengan nomor 1989, yang secara administratif tidak ada dalam data desa.
Poniman kemudian memberikan penjelasan lebih rinci terkait isu tanda tangan Leter C yang belakangan memicu kegaduhan di tengah masyarakat. Ia menegaskan bahwa dokumen yang diminta untuk ditandatangani justru tidak pernah tercatat dalam administrasi desa.
“Leter C yang diminta tanda tangan itu nomor 1989. Padahal di desa hanya sampai 1662. Jadi objeknya memang tidak ada,” jelas Poniman.
Menurutnya, ketidaksesuaian nomor tersebut semakin menguatkan dugaan bahwa ada pihak tertentu yang mencoba memanfaatkan situasi dengan menyebarkan informasi tidak akurat. Poniman menambahkan bahwa sebagai kepala desa, ia wajib melakukan pengecekan mendetail setiap ada permintaan administrasi tanah agar tidak terjadi kesalahan yang dapat berdampak hukum.
Dengan penjelasan itu, Poniman berharap masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu yang belum tentu benar dan tetap mengedepankan klarifikasi melalui jalur resmi desa.
Poniman menegaskan kembali: jika dokumen lengkap, objek jelas, dan prosedur sesuai, dirinya tidak pernah menolak menandatangani.
Akar Persoalan Bermula dari Jual Beli Tahun 2013 ; Poniman menuturkan bahwa polemik ini berasal dari jual beli tanah antara Samidin dan Sri Mulyani pada Rabu, 27 Februari 2013, menindaklanjuti UG No-5937 JB/3/2012 tanggal 3 Maret 2012.
Pihak pertama, Samidin atau Siswanto, beralamat di Tunas Jaya, Lampung, menjual tanah sawah dan tegal dengan bukti C Desa No. 1989 kepada Sri Mulyani, warga Depok, Jawa Barat.
Adapun Ugeran dibuat pada tahun 2013 saat Kepala Desa dijabat Sarti, sehingga Poniman menegaskan dirinya tidak terlibat dalam proses tersebut.
“Ugeran itu dibuat tahun 2013, saat itu lurahnya masih Sarti. Jadi tidak ada kaitannya dengan saya,” tegas Poniman.
Sementara itu, Deni Irwanda, salah satu aktivis Sragen, turut angkat bicara terkait polemik yang mencuat di Desa Donoyudan. Ia menegaskan bahwa publik tidak boleh secara gegabah memvonis Kepala Desa Donoyudan bersalah tanpa memahami duduk perkara secara utuh.
Menurut Deni, langkah yang diambil Kades Donoyudan sudah berada pada jalur yang tepat. “Saya melihat Kades Donoyudan sangat jeli menyikapi persoalan ini dan tidak asal-asalan. Karena bila terjadi kekeliruan dalam penandatanganan, justru bisa menjerat dirinya secara hukum. Maka kehati-hatian itu bukan hanya benar, tetapi wajib,” tegasnya.
Deni memaparkan bahwa persoalan administrasi tanah menjadi kunci dalam kisruh ini. Ia mencontohkan perbedaan data yang mengemuka, di mana Leter C Desa Donoyudan hanya tercatat hanya sampai No. 1662, sedangkan Leter C yang berada di Ugeran 1989. Ketimpangan inilah yang menurutnya membuat objek tanah yang dipersoalkan tidak muncul dalam Leter C desa, sehingga Kades tidak memiliki dasar kuat untuk menandatangani dokumen terkait.
“Jelas, di Leter C desa objek itu tidak ada. Jadi kalau Kades memaksakan tanda tangan tanpa dasar, itu sama saja menggali lubang sendiri,” ujar Deni Irwanda menegaskan.
Saat dihubungi di Desa Donoyudan, Deni menyatakan bahwa seluruh proses yang berlangsung di tingkat desa sudah dilakukan secara transparan. Ia mendorong masyarakat melihat persoalan ini secara jernih dan tidak terprovokasi isu liar yang beredar.
Selain itu, warga Donoyudan bernama Joko turut menegaskan bahwa pelayanan yang diberikan Kepala Desa Donoyudan beserta perangkat desa selama ini berjalan sangat baik.
“Selama ini Pak Kades Poniman dan pemerintah desa Donoyudan tidak pernah mempersulit warga. Semua urusan dilayani dengan baik, jelas, dan apa adanya. Setiap warga yang membutuhkan pelayanan selalu dibantu sesuai prosedur. Jadi kalau ada isu yang menyudutkan beliau, saya rasa itu tidak benar,” tegas Joko.
Ia kembali menekankan bahwa warga justru merasakan pelayanan yang cepat, terbuka, dan tidak berbelit-belit.
“Pelayanan di Desa Donoyudan sudah baik dan transparan. Warga tidak pernah merasa dipersulit,” ujarnya.
Investigasi menunjukkan bahwa isu Kepala Desa Donoyudan menolak menandatangani dokumen tanah tidak benar. Permasalahan justru berasal dari ketidaksesuaian data administrasi, khususnya nomor Leter C yang tidak tercatat dalam arsip desa. Sikap hati-hati Kades Poniman dinilai tepat dan justru melindungi warga serta pemerintahan desa dari potensi masalah hukum.(iTO)
