Sragen – Di ujung barat Kabupaten Sragen, tepat di tepian sunyi Waduk Kedung Ombo, berdirilah sebuah desa yang lahir dari perpindahan, bertahan dari keterasingan, dan tumbuh dari keteguhan warganya. Desa itu bernama Gilirejo Baru, desa termuda tanpa tanah bengkok, namun menyimpan jejak sejarah panjang tentang ketabahan dan harapan.
Tahun 1989 menjadi titik awal perubahan besar. Proyek raksasa pembangunan waduk menenggelamkan sebagian kawasan Desa Gilirejo lama. Sekitar 400 keluarga harus meninggalkan tanah kelahirannya. Dengan perahu, truk, dan doa yang mereka bawa, warga dipindahkan ke wilayah baru sekitar 7 kilometer dari desa asal yang kini terpisah oleh genangan air luas waduk.
Kondisi waktu itu jauh dari kemudahan. Jalan menuju Kantor Kecamatan Miri harus memutar melewati wilayah Boyolali, memakan waktu lebih dari satu jam. Tanah bengkok pun tidak dimiliki, membuat desa ini tumbuh tanpa sumber penghasilan desa seperti kebanyakan wilayah lain.
Namun dari kekosongan itu, Gilirejo Baru mulai menata diri.
Dari enam dukuh yang kini berdiri—Dondong, Rejosari, Sumberjo, Gondanglegi, Purworejo, dan Pelembinatur—Dukuh Rejosari RT 03 adalah yang paling tua. Di sinilah sepasang suami istri, Sosmito dan Nomplok, menjadi penghuni awal sebelum desa ini resmi terbentuk.
Dari rumah-rumah papan sederhana, suara anak-anak, dan langkah para perintis, Gilirejo Baru bertumbuh menjadi desa definitif.
Tiga Kali Berganti Pemimpin ; Meski desa masih muda, perjalanan kepemimpinannya penuh cerita.
1. Kamdi – Mantan anggota ABRI yang menjadi Kepala Desa pertama. Beliau menjabat selama dua periode, membawa struktur awal pemerintahan berdiri tegak.
2. Hartono – Kepala Desa kedua yang memimpin hingga akhir hayat. Ia meninggal pada Oktober 2020, setelah kecelakaan lalu lintas yang dialaminya pada Agustus tahun yang sama. Desa berduka, namun turut mengenangnya sebagai sosok pekerja keras.
3. Supratikno – Kepala Desa ketiga yang menjabat sejak Oktober 2022. Dalam Pilkades, ia meraih 835 suara (47,39%), unggul dari Misron SH (791 suara) dan Marjono (136 suara). Kemenangannya menjadi harapan baru bagi desa yang terus membangun.
Gilirejo Baru terletak paling barat Kabupaten Sragen, berbatasan dengan Grobogan di utara dan wilayah Boyolali di barat. Meski berada di Sragen, satu-satunya akses jalan desa adalah jalan milik Kabupaten Boyolali—sebuah ironi geografis yang bertahan hingga kini.
Jarak menuju Kantor Kecamatan Miri sekitar 16 kilometer, sementara menuju Kantor Bupati Sragen mencapai 41 kilometer. Jarak yang panjang, namun tak mematahkan semangat warga.
Dengan populasi 2.331 jiwa—terdiri dari 1.193 laki-laki dan 1.138 perempuan—mayoritas warga menggantungkan hidup pada lahan garapan milik Perhutani di wilayah Boyolali. Lahan sawah mereka di masa lalu telah tenggelam bersama waduk.
Sebagian lagi menjadi nelayan dan mencari nafkah di permukaan air waduk yang dahulu merenggut kampung asal mereka.
Dulu, Gilirejo Baru dikenal sebagai desa terpencil: minim bangunan, akses sulit, dan berada di wilayah yang dikelilingi air. Namun takdir punya cerita lain.
Sejumlah tokoh nasional pernah menjejakkan kaki di desa ini.
Anindyati Sulasikin Murpratomo pernah berkunjung, membawa perhatian pemerintah pusat ke desa terpencil tersebut.
Awal Januari 2024, calon Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka datang ke Balai Desa Gilirejo Baru.
Pada 9 Juni 2025, proses penyembelihan sapi kurban Presiden Prabowo Subianto dilaksanakan di desa ini, disaksikan dan dibantu warga sekitar.
Kehadiran tokoh-tokoh penting itu membuat desa yang dulu sunyi kini sering muncul dalam pemberitaan nasional.
Desa ini juga mendapat perhatian dari pemangku kebijakan tingkat daerah. Anggota DPRD Sragen seperti Untung Wibowo Sukawati, Wulan Purnama Sari, dan Suparno tercatat aktif memberikan dukungan dan aspirasi, termasuk yang direncanakan pada tahun 2026.
Di wilayah yang dahulu terasa terasing, bantuan-bantuan ini menjadi penguat langkah pembangunan.
Di Gilirejo Baru, terutama di Dukuh Rejosari, terdapat sosok vokal bernama Warsito, dikenal luas karena perjuangannya memerangi pungli, korupsi, ilegal logging, hingga mafia pupuk palsu. Ia juga merupakan Direktur Utama PT Berita Istana Negara yang membawahi 18 media online—membuat namanya kerap terdengar hingga tingkat nasional.
Gilirejo Baru bukan sekadar desa relokasi. Ia adalah kisah tentang manusia yang bertahan, desa yang tumbuh tanpa tanah bengkok, dan masyarakat yang menghadapi keterpencilan dengan kepala tegak. Di tepian waduk yang menelan masa lalu, mereka justru menulis masa depan: bangkit, bertahan, dan dikenal bangsa.
Warga masih ingat perjuangan kepala Desa Pertam ;
Supardi masih mengingat jelas siang itu—siang yang begitu panas hingga bayangan pun terasa ikut menguap. Warga Gilirejo Baru berkumpul di antara hamparan batu putih, memecah, mengangkat, dan menata batu satu per satu untuk dijadikan jalan. Di tengah kerumunan itu, sosok Kamdi tampak menonjol, bukan karena pakaian atau jabatan, melainkan karena ketulusannya.
Dengan suara pelan namun penuh kenangan, Supardi berkata:
“Pak Kamdi itu bukan sekadar kepala desa… beliau itu pelopor perjuangan kami.”
Ia berhenti sejenak, seolah gambaran masa lalu kembali memantul di matanya.
“Waktu itu panasnya luar biasa. Tapi Pak Kamdi ada di depan, ikut memanggul batu, ikut duduk di tanah kapur, ikut basah oleh keringat. Beliau tidak pernah menyuruh—beliau melakukan, lalu kami mengikuti.”
Supardi menghela napas panjang. “Dan bukan hanya soal jalan… Beliau yang pertama kali memperjuangkan listrik untuk desa terpencil ini. Kami dulu hidup dalam gelap, betul-betul gelap. Kalau malam cuma lampu teplok dan doa yang menemani. Tapi Pak Kamdi datang membawa harapan.”
Ia tersenyum kecil, bangga. “Beliau bolak-balik ke kecamatan, ke kabupaten. Kadang jalan kaki, kadang naik kendaraan apa saja yang bisa lewat. Semua demi satu hal: agar Gilirejo Baru tidak selamanya hidup dalam gelap.”
Supardi menambahkan dengan suara yang semakin lirih namun mantap: “Kalau hari ini lampu-lampu menyala di setiap rumah, kalau anak-anak bisa belajar tanpa harus mencium asap lampu minyak, itu semua berawal dari perjuangan Pak Kamdi. Beliau menyalakan cahaya pertama di desa kami—bukan hanya cahaya lampu, tapi cahaya harapan.”
Dengan penuh hormat, Supardi menutup kalimatnya: “Bagi kami, Pak Kamdi bukan hanya kepala desa pertama. Beliau adalah fondasi Gilirejo Baru—orang yang mengubah desa kecil terpencil ini menjadi tempat yang pantas kami sebut rumah.”(iTO)