Sragen – Langit sore di Dempul memerah, diiringi suara peluit kereta dari kejauhan. Di antara deru angin dan gesekan roda baja, berdiri seorang lelaki bersarung lusuh dengan bambu di tangannya. Ia bukan petugas resmi, bukan pula pegawai negara. Namanya Aan — penjaga waktu, penjaga nyawa, penjaga rel kehidupan yang setiap hari berdiri di antara dua dunia: antara yang datang dan yang pergi.
Di tengah teriknya matahari siang di perlintasan rel kereta api Desa Dempul, Kecamatan Gemolong, tampak sosok pria sederhana berdiri tegak di sisi jalan. Wajahnya legam karena sering terpapar matahari, namun senyumnya selalu tulus menyapa setiap pengendara yang lewat. Dialah Anwaidi, atau akrab disapa Aan, warga Dukuh Dempul, Desa Ngembat Padas, yang sudah sepuluh tahun menjaga palang kereta api di perlintasan tersebut.
Tak banyak yang tahu, kisah Aan menjadi penjaga palang ini berawal dari sebuah tragedi memilukan.
Pada Senin siang, 7 Mei 2018, sebuah kecelakaan maut terjadi di perlintasan tanpa palang pintu itu. Sebuah mobil pikap tertabrak kereta api hingga menewaskan dua orang di tempat. Salah satunya diketahui bernama Dhevi Kurnia (31), warga Boyolali. Peristiwa itu meninggalkan duka mendalam bagi warga sekitar.
“Setelah kejadian itu, warga langsung mengadakan rapat kampung. Pak Kardi selaku ketua RW menunjuk saya untuk menjaga palang ini,” tutur Aan saat ditemui awak media Berita Istana, Kamis (16/10/2025).
Sejak saat itu, ia dengan sukarela berjaga setiap hari, tanpa pamrih, hanya berbekal rasa tanggung jawab dan kepedulian.
“Ini sudah jadi kesepakatan warga. Saya tidak boleh meminta uang,,karena warga sudah iuran diberikan ke saya, tapi kalau ada yang ngasih ya boleh diterima. Kadang ada yang ngasih makanan, kadang rokok, itu saja sudah cukup,” ujarnya sambil tersenyum.
Menurut Aan, keberadaan penjaga palang sangat penting. “Kalau tidak dijaga, pihak PJKA bisa saja menutup jalan ini. Makanya saya di sini hanya menjalankan amanah warga, supaya tidak ada lagi korban,” tambahnya.
Menariknya, di momen lebaran, Aan kerap mendapat amplop dari para perantau yang pulang kampung. “Biasanya orang-orang yang dari Jakarta kasih amplop. Katanya buat jajan lebaran. Saya terharu, berarti mereka masih ingat,” katanya lirih.
Kisah hidup Aan juga penuh lika-liku. Sebelum menjadi penjaga palang, ia pernah berjualan sayur di daerah Pondok Labu, Jakarta. Namun nasib membawanya pulang ke kampung halaman setelah mengalami kecelakaan jatuh dari pohon jambu yang membuatnya harus menjalani operasi besar.
“Waktu itu habis ratusan juta. Dulu saya ikut motong kayu, tapi setelah kejadian itu, pak RT menyarankan saya jaga palang saja,” kenangnya.
Kini, setiap suara peluit kereta yang menggema dari kejauhan menjadi bagian dari hidupnya. Dengan tangan kokoh, Aan menutup dan membuka bambu sebagai penutup jalan saat kereta melintas, memberi isyarat kepada pengendara agar berhenti.
Tak ada seragam resmi, tak ada gaji tetap, namun pengabdian Aan menjaga keselamatan warga selama sepuluh tahun penuh menjadi bukti bahwa kepahlawanan tak selalu lahir dari seragam atau pangkat.
Bagi warga Dempul, sosok Aan bukan sekadar penjaga palang, tapi juga penjaga nyawa, simbol ketulusan dan keikhlasan dalam pengabdian sederhana.
“Saya hanya ingin tidak ada lagi korban di sini. Itu saja harapan saya,” tutup Aan dengan mata yang menatap jauh ke arah rel panjang yang membelah desa kecil itu.