Tulungagung, Selasa (19/08/2025) – Sebuah ironi menyayat logika dan keadilan sosial kembali mencuat di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Di saat rakyat masih mengeluh karena infrastruktur jalan yang rusak dan berlubang, para pejabat justru menikmati kendaraan dinas mewah dengan anggaran miliaran rupiah.
Tahun anggaran 2025 membuka fakta pahit: pemerintah daerah menggelontorkan dana fantastis untuk pengadaan kendaraan dinas, sementara kebutuhan dasar masyarakat seperti perbaikan jalan tak kunjung tersentuh.
Data Pengadaan Kendaraan Dinas 2025: Borjuisme yang Terstruktur
Berdasarkan dokumen anggaran, pengadaan kendaraan dinas di Tulungagung tahun 2025 mencakup:
Kendaraan dinas operasional/jabatan 2500cc: Rp1,277 miliar, Kendaraan pejabat eselon II: Rp472,4 juta, Kendaraan pejabat eselon I/kepala daerah/DPRD: Rp702,9 juta, Kendaraan dinas perorangan MPV 2500cc: Rp1,906 miliar, Kendaraan dinas perorangan SUV 2200cc: Rp1,332 miliar
Jika pejabat eselon I dan II hanya mendapatkan kendaraan di kisaran Rp400–700 juta, maka publik bertanya: mobil miliaran itu untuk siapa? Apakah untuk “big boss” di kursi kekuasaan, sementara rakyat dibiarkan menunggu tambalan jalan?
Rakyat Menjerit, Jalan Bolong Tak Tersentuh, Kondisi jalan di beberapa titik Tulungagung masih jauh dari layak. Lubang-lubang menganga di jalur transportasi publik membuat masyarakat kian resah.
Sahrul, sekretaris Perkumpulan Komunitas Tulungagung Peduli (PKTP), menegaskan kekecewaannya.
“Saya sebagai masyarakat kurang setuju. Infrastruktur seperti jalan rusak bolong-bolong lebih baik diperbaiki dan diprioritaskan dulu. Kendaraan mewah hanya dinikmati segelintir pejabat, sedangkan jalan adalah kebutuhan publik,” ujarnya.
Standarisasi pembelian kendaraan pun dipertanyakan. Apakah benar sesuai kebutuhan operasional? Atau sekadar memenuhi selera borjuis para pejabat?
Mahasiswa dan Moralitas Publik, Di tengah gemerlap kendaraan dinas, muncul pertanyaan: di mana suara mahasiswa?
Apakah idealisme kampus telah melemah? Sejarah mencatat, perubahan lahir dari keberanian bersuara. Diam berarti ikut melanggengkan ketidakadilan.
Pemerintahan Adil adalah Pemerintahan yang Merakyat, Totok, aktivis LSM Cakra, menyampaikan kritik tajam.
“Kekuasaan tanpa moral adalah tirani. Dan tirani hari ini bukan dalam bentuk kekerasan fisik, melainkan dalam bentuk pengadaan barang mewah yang mengabaikan kebutuhan dasar rakyat,” tegasnya.
Ia mengingatkan, jika pemerintah ingin dihormati, maka langkah awal adalah menghormati rakyat. Jika ingin dikenang, tinggalkanlah jejak keadilan—bukan jejak ban mobil dinas di jalan berlubang.
Dikutip dari: Mualimin / SPJ News ID