SRAGEN — Kabar memilukan datang dari Desa Wonorejo, Kecamatan Kedawung, Kabupaten Sragen. Sebuah kisah rumah tangga penuh luka, yang akhir-akhir ini viral di media online Berita Istana dan TikTok Mata Jateng, menuai sorotan tajam dari warga Sragen serta netizen.
Di tengah derasnya perhatian publik, sosok Ning Bares, istri sah Kepala Desa Wonorejo, akhirnya buka suara. Sabtu, 6 Desember 2025, ia dijemput langsung oleh tim Berita Istana menuju Celep, Kedawung. Tim yang menjemput terdiri dari Sri Uminah dan Deni Ervanda (Rere), tiba di rumah Ning pada pukul 16.09 WIB.
Di balik kisah pilu yang menimpa Ning Bares, ada satu sosok yang jarang tampil di depan namun justru menjadi penopang terkuatnya. Bukan pejabat, bukan tokoh besar, bahkan bukan seseorang dengan fisik sempurna. Dialah Rere, pemuda difabel yang hatinya jauh lebih tegap daripada kakinya.
Kaki kirinya cacat, membuatnya berjalan dengan bantuan ekrang yang setiap ketukannya—tok… tok… tok…—menjadi irama keberanian. Meski tubuhnya rapuh, ia tak pernah menjadikan kekurangannya alasan untuk tidak membantu. Saat mendengar kondisi Ning, ia langsung berkata mantap, “Biar saya ikut menjemput. Mbak Ning butuh ditemani.”
Sore itu, mobil merah milik Rere melaju pelan menuju rumah Ning. Setibanya di sana, ia turun dengan hati-hati, menata ekrang, dan mengulurkan tangan kepada Ning yang tampak lemah karena stroke dan beban batin.
“Tenang, Mbak. Kita berangkat bareng,” katanya lembut.
Sepanjang perjalanan, Rere mengemudi dengan penuh perhatian. Setiap guncangan ia kurangi, setiap tangis Ning ia tenangkan. Ekrang di sampingnya terus berdenting pelan mengikuti napasnya—ritme seorang pejuang yang tidak pernah menyerah pada keadaan.
Saat mobil merah berhenti di kantor redaksi Berita Istana, Rere turun lebih dulu, menancapkan ekrang ke tanah, lalu memapah Ning dengan langkah tertatih. Meski dirinya yang lebih layak dipapah, ia tetap menomorsatukan perempuan yang sedang jatuh itu.
Begitulah Rere: Tidak melihat dirinya sebagai orang yang perlu dikasihani,
melainkan sebagai seseorang yang mampu menolong.
Awal Mula Stroke: Surat Permintaan Maaf dan Tetes Air Mata, setiba di ruang redaksi, Ning Bares mulai menceritakan titik awal kehidupannya mulai runtuh. Semua berawal dari sepucuk surat yang ditinggalkan suaminya, Mulyono (Kuprut), di meja rias kamarnya.
“Surat itu isinya permintaan maaf. Katanya dia menyesal atas semua kesalahan selama ini,” tutur Ning dengan suara bergetar.
Membaca surat itu, Ning menangis tersedu-sedu di atas tempat tidur. Tak lama, suaminya datang, memeluknya erat, dan ikut menangis sejadi-jadinya.
“Malam itu menjadi saksi permintaan maaf suami saya yang paling tulus,” kenang Ning saat diwawancarai tim Berita Istana.
Namun setelah malam penuh air mata itu, tubuh Ning mendadak menggigil. Ia merasa dingin hingga tak kuat untuk mengambil air wudhu.
“Saya bilang badan saya dingin. Terus suami saya jawab, ‘Ma, kamu harus kuat.’ Saya masih ingat kata-kata itu,” ujarnya.
Mulyono akhirnya menghubungi saudaranya untuk membawa Ning ke rumah sakit di wilayah Sragen. Dari situlah kondisi stroke Ning mulai terdiagnosis.
Meski mengetahui perilaku suaminya, Ning tetap berusaha menjaga nama baik keluarga dan jabatan suami sebagai kepala desa.
“Saya menutupi semuanya. Saya tidak pernah marah. Saya tersenyum di depan warga,” ungkapnya dengan tenang.
Selama hampir satu tahun masa pemulihan stroke, Ning mengakui suaminya sempat setia merawat dirinya. Namun sayangnya, kesetiaan itu tidak bertahan lama.
Hubungan Gelap, Dugaan Penggerebekan, hingga Nikah Siri, dengan suara lirih, Ning mengungkap bahwa di tengah kondisinya yang masih sakit, suaminya diduga menjalin hubungan dengan seorang janda bernama Endang Setyowati, warga Galeh, Tangen, Sragen.
“Suami saya mengajak perempuan itu ke rumah saat saya masih stroke. Saya hanya bisa menahan sakit hati,” ucapnya.
Hubungan itu semakin santer terdengar di telinga warga hingga nyaris digerebek. Dan pada akhirnya, suaminya memilih menikah siri dengan janda tersebut.
“Yang hadir waktu nikah siri hampir semua ketua RT di Wonorejo. Hanya satu RT yang tidak hadir,” tambah Ning.
Sakit yang Tak Ada Ujungnya: Amarah, Pengusiran, hingga Kekerasan ; Kisah Ning kemudian memasuki babak paling kelam.
“Sakit saya makin parah. Tapi yang saya terima justru amarah,” ujarnya.
Ia mengaku sering dimarahi, bahkan mengalami penganiayaan.
“Saya pernah diseret dari kamar sampai halaman. Muka saya pernah disemprot Baigon… saya tidak berdaya karena stroke.”
Dalam satu peristiwa yang tak pernah ia lupa, Ning pulang ke rumah dan mendapati suaminya sedang berada di dalam kamar bersama seorang wanita berinisial RN.
“Saya antarkan wanita itu keluar rumah dan saya nasehati.”
Namun alih-alih memperbaiki keadaan, Ning justru diusir dari rumah.
“Saya pulang ke rumah orang tua saya,” katanya sambil menangis.
Proses hukum pun berjalan. Kamis, 4 Desember 2025, sidang di Pengadilan Agama Sragen memasuki agenda pembuktian.
Hakim menanyakan kepada pemohon—yakni Mulyono—mengenai foto yang diduga merupakan foto pernikahan siri dengan janda asal Tangen.
“Suami saya bilang itu foto acara senang-senang. Padahal itu foto saat nikah siri,” ujar Ning.
Sementara itu, mengenai nafkah dan kebutuhan dasar, Ning mengaku hanya dibantu adiknya. “Saya tidak diberi nafkah oleh suami saya saat sakit,” ujarnya.
Kisah Ning Bares bukan hanya tentang rumah tangga yang retak, namun tentang pergulatan seorang istri yang berjuang dalam sakit dan dikhianati pada waktu yang bersamaan.
Di tengah proses perceraian yang terus berjalan, Ning berharap hanya satu hal:
“Saya ingin suami saya mendapatkan hidayah. Itu saja.”
Dalam hening sore Celep yang mulai merayap ke malam, kisah pilu tentang Ning Bares bukan lagi sekadar berita. Ia menjelma menjadi cermin luka, kesabaran, dan keteguhan seorang perempuan yang melangkah tertatih antara cinta, sakit, dan ketidakadilan.
Kisah ini bukan dongeng. Bukan pula drama layar kaca. Ini terjadi di keluarga besar Ning Bares, di rumah yang dulu penuh tawa, namun perlahan berubah menjadi ruang sunyi yang menyimpan tangis diam-diam.
Di balik semua luka yang diungkapkan, ada satu hal yang membuat kisah ini begitu menggugah: Ning tidak menyimpan dendam.
Ia terluka, tetapi tidak membenci.
Ia dipinggirkan, tetapi tetap mendoakan.
Ia disakiti, tetapi hatinya tetap memilih untuk bertahan, meski tubuhnya rapuh oleh stroke yang datang bersamaan dengan badai perasaannya.
Di tengah perjalanan panjang dan melelahkan ini, tim redaksi Berita Istana hadir bukan hanya sebagai pewarta, tetapi sebagai saudara seperjuangan. Mereka mendampingi Ning Bares, memberikan semangat, dan memastikan ia tidak berjalan sendirian.
Tak jarang, mata mereka ikut berkaca-kaca saat mendengar setiap detail kisah Ning—dari surat permintaan maaf yang menjadi awal badai, hingga malam ketika ia harus meninggalkan rumah karena diusir dalam kondisi tubuh yang belum pulih.
Mereka menguatkan, memapah, dan menegaskan satu hal:
Kesembuhan Ning Bares adalah prioritas. Bukan hanya kesembuhan fisik, tetapi juga kesembuhan batin yang selama ini terguncang oleh keputusan-keputusan orang terdekatnya.
Semoga kisah ini menjadi pelajaran bagi banyak keluarga. Semoga tidak ada lagi istri yang menahan luka sendirian.
Tidak ada lagi rumah tangga yang runtuh karena ketidakjujuran atau pengkhianatan. Tidak ada lagi perempuan yang harus memilih diam meski hatinya berteriak.
Dan semoga Ning Bares, dengan segala kekuatan hatinya, menemukan kembali ketenangan yang pantas ia dapatkan.
Tentang Penulis