Diusir Saat Stroke, Diceraikan Saat Tak Berdaya — Kisah Pilu Istri Kades di Kedawung

Berita Istana
6 Min Read

Sragen – Pagi yang harusnya hangat berubah beku ketika sebuah pesan lirih masuk ke ponsel redaksi. Tepat pukul 07.40 WIB, seorang perempuan yang tengah berjuang melawan stroke menuliskan salam dengan tangan gemetar. Di balik sapaan itu, tersimpan badai yang sudah lama ia sembunyikan—badai yang lahir dari rumah tangganya sendiri bersama seorang kepala desa di Kecamatan Kedawung, yang kini tengah menceraikannya saat ia tak lagi berdaya.

Ia menulis bahwa ia dipulangkan ke rumah orang tua saat tubuhnya lumpuh separuh dan hati retak seluruhnya. Sementara suaminya, yang dulu ia percayai menjadi pelindung, justru diduga menikah siri dengan seorang janda ketika ia masih menjadi istri sah. “Saya terdholimi… saya takut… tapi saya harus bicara,” tulisnya—kalimat yang menggetarkan, seolah keluar dari seorang tokoh utama novel tragis yang akhirnya memilih untuk berhenti diam.

Delapan tahun pernikahan berubah menjadi kubangan luka. Delapan tahun menjadi istri seorang pejabat desa, namun tak pernah merasakan aman. Delapan tahun penuh tekanan, pukulan, dan ancaman yang membuatnya menggigil tiap kali mengingatnya.

Dan kini, menjelang putusan Pengadilan Agama tanggal 4 Desember, tubuhnya yang perlahan pulih bersamaan dengan nyalinya yang mulai tumbuh. Ia memberanikan diri menyampaikan kisah pahit yang selama ini dikubur dalam-dalam—kisah tentang pengkhianatan, pengusiran, dan ketakutan seorang istri yang dicerai ketika ia sedang terbaring lemah.

Pagi itu, Selasa pukul 07.40 WIB, sebuah pesan masuk ke nomor redaksi.
Pendek, lirih, namun mengguncang.
“Assalamualaikum… maaf, saya sedang ada masalah. Suami saya kepala desa di Kedawung… Saya istri yang merasa terdholimi…”

Kalimat-kalimat berikutnya membuat ruang redaksi seketika hening.
Ada getir yang menetes dari setiap huruf yang dikirimkan perempuan berusia 50 tahun itu—seorang istri sah, seorang ibu dari tiga anak, dan seorang pejuang yang kini tengah memulihkan diri dari serangan stroke.

Dengan tangan yang masih bergetar, ia mengaku memberanikan diri bercerita.
Bukan untuk membuka aib, bukan pula untuk mencari sensasi. Ia hanya ingin keadilan, dan—yang mungkin lebih berat—ia ingin didengar.

“Saya sedang proses sidang perceraian… Kamis besok keputusan Pengadilan Agama… Saya dicerai saat stroke, lalu dipulangkan ke orang tua…”

Di balik pesan itu, tersimpan luka yang teramat dalam. Ia harus menghadapi kenyataan bahwa suami yang seharusnya menjadi sandaran hidupnya—justru meninggalkannya saat ia paling rapuh.
Lebih perih lagi, suami yang menjabat sebagai kepala desa itu kini diduga telah menikah siri dengan seorang janda, padahal ia masih menjadi istri sah.

“Sejak menikah, saya sudah sering tersakiti… Selama 8 tahun saya merasa tertekan… sering terjadi KDRT…”

Ia menikah dengan status janda beranak tiga. Suaminya saat itu duda tanpa anak.
Mereka membangun rumah tangga sederhana dengan harapan bisa saling menguatkan. Namun harapan itu berubah menjadi penjara batin yang tak terlihat oleh siapa pun.

Tiap pukulan, tiap bentakan, tiap kata kasar—semuanya ia simpan sendiri.
“Kalau saya ingat itu, saya takut…” tulisnya lirih.

Dan ketakutan itu bukan tanpa alasan.
Ia mengetahui betul bagaimana temperamen sang kepala desa.
Ia takut melaporkan, takut mengadu, apalagi sampai dipublikasikan.

“Kalau sampai suami saya dengar… saya takut jiwa saya terancam…”

Hidup menamparnya keras ketika di usia 48 tahun, ia terserang stroke.
Saat ia tak mampu berjalan, tak mampu bergerak bebas, tak mampu mengurus rumah—di saat itulah ia berharap suaminya menunjukan cinta dan kesetiaan.

Nyatanya, yang ia dapat hanyalah pengkhianatan. Ia dipulangkan ke rumah orang tuanya, seperti barang yang tak lagi diinginkan.
Ia diusir dari rumah yang selama ini ia tempati sebagai istri sah.

Sementara sang suami, menurut pengakuannya, telah menikah siri dengan janda lain dari wilayah Tangen.

“Saya masih istri sah… tapi saya tidak pernah mendapat perlakuan baik… sampai sekarang pun tidak diberi nafkah…”

Kini ia tinggal di rumah orang tua, ditemani seorang pembantu karena kondisi fisiknya belum sepenuhnya pulih. Anak sulung dan kedua tinggal di Boyolali, sementara anak bungsunya masih kuliah di Semarang.

Di rumah kecil itulah ia berjuang antara kesakitan dan ketakutan.
Ia takut malam hari, takut jika tiba-tiba suaminya datang, takut jika keberaniannya melapor justru menjadi ancaman baru.

“Saya benar-benar takut kalau terjadi apa-apa… karena kos saya tidak ada yang menjagai…”

Tapi malam tadi, ia menguatkan diri.
Ia bercerita kepada Redaksi Berita Istana. Ia menganggap redaksi sebagai keluarga, tempat ia menumpahkan hal yang selama ini ia pendam sendirian.

Kamis, 4 Desember, menjadi tanggal yang membuat napasnya sesak.
Hari di mana Pengadilan Agama akan mengeluarkan keputusan atas pernikahan delapan tahun yang penuh luka.

Delapan tahun perjuangan, delapan tahun ketabahan, Delapan tahun yang ternyata tak pernah memberinya kebahagiaan.

“Mas Warsito, saya mohon izin mau sholat Dhuha dulu… nanti kalau diizinkan kita sambung lagi. Terima kasih sudah menampung keluhan saya…”

Sebelum menutup pesan, ia menulis satu kalimat yang membuat kami menahan haru:

“Selama ini saya hanya diam… tapi sekarang saya takut… saya butuh tempat bercerita.”

Catatan Penutup

Kisah ini bukan sekadar keluh kesah seorang istri. Ini adalah catatan hitam dari sebuah rumah tangga pejabat publik di salah satu desa Kecamatan Kedawung.

Redaksi Berita Istana dan Tiktok Mata Jateng akan terus memantau perkembangan kasus ini.
Kami memastikan bahwa suara perempuan ini tidak padam begitu saja, meski ia selama ini hidup dalam ketakutan.

Karena setiap perempuan berhak mendapatkan perlindungan,
dan setiap luka berhak disuarakan agar tak semakin dalam.

Penulis ; iTO

Share This Article
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *