DENPASAR, Isu perselingkuhan di tubuh aparat penegak hukum kembali mencuat dan menyorot tajam konsistensi penegakan etik di internal Polri. Dua kasus berbeda—satu di Jawa Tengah, satu di Bali—memunculkan gambaran kontras yang mengundang tanda tanya besar dari publik: mengapa penanganan kasus yang serupa menghasilkan respons yang sangat berbeda?
Polda Jateng Bergerak Cepat: AKP N Dipecat Tidak Hormat
Karir AKP N, mantan Kapolsek Brangsong, Kendal, Jawa Tengah, seketika runtuh setelah dirinya terbukti melakukan perselingkuhan dengan seorang guru PAUD berinisial Y.
Pada 22 Oktober 2025, Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) Polda Jateng menjatuhkan Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap Nundarto.
Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto, menegaskan:
“Perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela.”
Tak hanya dipecat, AKP N juga dijatuhi penempatan khusus (Patsus) selama 30 hari. Bahkan, meski yang bersangkutan mengajukan banding, keputusan PTDH sudah menjadi sinyal bahwa Polda Jateng bertindak cepat, tegas, dan transparan dalam menangani pelanggaran moral yang mencoreng institusi.
Pelanggaran ini masuk dalam kategori perbuatan tercela, yang dalam peraturan Polri dapat berujung pada sanksi berat, termasuk PTDH.
Secara pidana, hubungan gelap yang melibatkan pihak yang telah menikah dapat bersinggungan dengan Pasal 284 KUHP tentang perzinaan apabila terdapat laporan pihak yang dirugikan.
Beralih ke Bali: Dugaan Perselingkuhan MD–Ipda EC Berlarut-larut Tanpa Sidang KKEP
Berbanding terbalik dengan ketegasan Polda Jateng, sebuah dugaan skandal perselingkuhan di lingkungan Polda Bali justru terlihat mandek tanpa kejelasan.
Kasus ini melibatkan:
MD, oknum PNS di bagian SDM Polda Bali
Ipda EC, oknum Polwan dari satuan lalu lintas
Menurut informasi lapangan, keduanya diamankan di sebuah hotel berinisial AN di kawasan Gatot Subroto, Denpasar. Hubungan keduanya disebut telah lama menyerupai hubungan suami istri.
Yang lebih menggemparkan, kedua pihak ternyata sama-sama memiliki pasangan sah:
Suami Ipda EC adalah penegak hukum yang berdinas di luar Bali
Istri MD, berinisial R, juga Polwan yang satu angkatan dengan Ipda EC
Situasi ini menciptakan dampak guncangan internal karena melibatkan hubungan personal antaranggota yang saling mengenal dan satu lingkungan kerja.
Namun hingga hari ini, publik belum melihat: Sidang Kode Etik Profesi (KKEP)
Keterangan resmi Polda Bali
Status penanganan Propam
Apakah keduanya ditempatkan di tempat khusus (Patsus) atau tetap bertugas
Saat ditanya awak media, istri sah MD hanya menjawab:
“Silakan tanya ke Propam Polda Bali.”
Jawaban ini makin menguatkan dugaan bahwa kasus tersebut ditangani secara internal namun tertutup, tanpa transparansi sebagaimana prinsip Polri Presisi.
Dugaan Pelanggaran Etik dan Potensi Pidananya
Seperti kasus AKP N di Jateng, dugaan perselingkuhan MD–Ipda EC juga dapat masuk dua ranah:
1. Pelanggaran Etik Profesi Polri
Perbuatan tercela
Pelanggaran moral dan kehormatan anggota Polri
Kode Etik Profesi Polri (KEPP) terkait integritas, disiplin, dan menjaga citra organisasi
Sanksi etik dapat berupa:
Teguran
Mutasi bersifat demosi
Penempatan khusus (Patsus)
Bahkan PTDH untuk Polri
Pemberhentian sebagai PNS untuk MD sesuai PP 94/2021 (disiplin PNS)
2. Potensi Sanksi Pidana
Jika pasangan sah melapor, maka terpenuhi unsur Pasal 284 KUHP tentang perzinaan, yang merupakan delik aduan.
Dari sisi regulasi, seharusnya penanganan kasus ini tidak boleh mandek, apalagi mengingat Polda Bali telah menangani kasus serupa terhadap anggota lain dengan relatif cepat.
Kontras Mencolok: Polda Jateng Tegas, Polda Bali Dianggap Lamban
Polda Jateng hanya butuh hitungan minggu untuk: menyelidiki memeriksa semua pihak melaksanakan sidang etik
menjatuhkan PTDH.
Sementara kasus di Polda Bali telah mencuat ke publik cukup lama, namun: belum ada sidang, belum ada rilis resmi
belum ada sanksi, belum ada transparansi penanganan
Perbedaan mencolok ini menimbulkan pertanyaan besar: Mengapa penanganan pelanggaran moral di Jateng dapat dilakukan secara tegas, tetapi di Bali justru terkesan didiamkan?
Apakah karena melibatkan oknum tertentu? Apakah ada upaya meredam kasus demi menjaga citra internal?
Atau memang ada standar ganda dalam penegakan etik?
Publik berhak mendapatkan jawaban.
Di tengah kritik masyarakat, berbagai kelompok pemerhati Polri menyuarakan hal yang sama:
Polda Bali perlu menampilkan ketegasan yang sama dengan Polda Jateng dalam menjaga marwah institusi.
Apalagi Bali merupakan daerah wisata internasional, sehingga integritas dan profesionalisme aparat sangat berpengaruh terhadap citra keamanan daerah.
Penanganan lambat terhadap kasus ini justru menimbulkan persepsi negatif dan ketidakpercayaan.
Kasus MD–Ipda EC bukan hanya soal moral pribadi, tetapi juga integritas institusi, konsistensi penegakan hukum, dan keadilan yang harus berlaku setara untuk setiap anggota Polri, baik di Jateng maupun Bali.
Selama penanganannya masih tertutup, wajar jika publik mempertanyakan:
“Apakah hukum di internal Polri benar-benar sama untuk semua, atau hanya berlaku tegas untuk sebagian?”
Masyarakat kini menunggu langkah nyata dari Kapolda Bali untuk memberikan kepastian hukum dan memastikan kasus ini tidak menjadi preseden buruk dalam penegakan etik di Kepolisian.(*)