Nasehat Malam Hujan: Pesan Keluarga Besar PT Berita Istana Negara Sekaligus Kakak Alma Tika Sari

Berita Istana
7 Min Read

Sragen – Malam itu, 18 Oktober 2025, hujan turun pelan membasahi tanah Precet, Desa Girimargo, Kecamatan Miri, Kabupaten Sragen. Rintiknya lembut, seperti ingin menyelimuti malam yang baru saja ditinggalkan oleh hiruk pikuk para tamu.
Sisa aroma makanan dan bunga melati dari acara lamaran sore tadi masih tercium di udara. Beberapa kursi plastik basah, dan lampu halaman berkelip redup terkena embun. Di teras rumah sederhana itu, hanya tersisa beberapa orang keluarga yang masih bertahan — termasuk Warsito, Direktur Utama PT Berita Istana Negara, yang malam itu memilih duduk lebih lama.

Alma Tika Sari, adik perempuan yang begitu ia sayangi, baru saja masuk ke dalam kamar mengganti pakaian, namun ia kembali keluar dengan rambut yang masih setengah basah. Wajahnya tampak lelah, tapi senyumnya tetap lembut seperti biasanya.
Warsito menatapnya lama, matanya teduh namun menyimpan sesuatu yang dalam — rasa haru, juga sedikit khawatir, seperti seorang kakak yang tahu waktu akan segera memisahkan mereka.

“Ndhuk…” panggilnya pelan. Suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan di atap seng.
“Sini, duduk dekat mas.”

Alma menuruti, melangkah perlahan dan duduk di kursi panjang di sebelahnya. Hujan semakin deras, menimbulkan bunyi ritmis yang seolah menegaskan keheningan di antara mereka.

Warsito menarik napas panjang sebelum berbicara.

“Pesan mas War, ketika kamu menikah nanti, jadilah istri yang taat dan patuh kepada suamimu. Kemanapun kamu pergi, jangan lupa berpamitan. Ridho suami itu ridho Tuhan, Ndhuk. Itu bekal hidup yang harus kamu pegang erat.”

Alma menunduk. Hujan di luar terasa semakin dingin, tapi kata-kata itu justru membuat dadanya hangat.

“Selain itu,” lanjut Warsito dengan suara lembut, “kamu harus taat dan merawat kedua orang tuamu. Hidupmu nanti akan penuh berkah jika kamu bisa menjaga mereka dengan ikhlas. Jangan pernah membedakan ibu dari suamimu. Anggaplah ibu mertua seperti ibu yang melahirkanmu sendiri.”

Tatapan Warsito beralih ke luar jendela, menatap gelap yang ditimpa hujan. Setetes air menetes dari ujung atap, jatuh tepat di bawah cahaya lampu kuning yang berkelip.

“Selagi orang tuamu masih hidup, rawatlah dengan baik. Turuti apa yang ibu minta. Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari. Merawat orang tua itu tidak mudah, tapi kalau kamu ikhlas, Tuhan akan cukupkan segalanya,” katanya lagi.

Alma diam. Ia tahu, kata-kata itu keluar dari hati yang tulus. Ia tahu juga, ada kenangan lama di balik nasihat itu — perjuangan, kehilangan, dan kasih yang tak terucap.

Warsito menoleh padanya.

“Kamu masih muda, Alma. Kamu lahir Senin, dua puluh Maret dua ribu lima. Dari keluarga sederhana. Tapi ingat, bukan kekayaan yang membuat hidupmu bahagia, melainkan rasa syukur. Ketika kamu bisa bersyukur, hidupmu akan cukup. Jadilah manusia yang selalu berterima kasih kepada Tuhan atas setiap napas yang kamu punya.”

Air mata Alma jatuh perlahan. Ia tak berani menatap kakaknya.
Warsito tersenyum kecil, lalu mengulurkan tangan dan mengusap kepala Alma lembut.

“Sejak kamu lahir, kamu sudah dibesarkan oleh seorang ibu yang kuat. Ibumu — Dewi Sugiyanti — membesarkanmu dengan keringat dan doa. Dia tak pernah menyerah, meski hidup sering keras padanya. Itu yang harus kamu syukuri, Ndhuk. Jangan pernah lupakan perjuangan itu.”

Alma tak kuasa menahan tangisnya. Suaranya bergetar ketika berkata,

“Aku tahu, Mas… Ibu terlalu banyak berkorban buat aku.”

Warsito mengangguk pelan.

“Iya, Ndhuk. Dan karena itu, jangan pernah kamu membentak atau melawan orang tua. Jangan pernah menyakiti hati ibu dan juga suamimu nanti. Tetaplah rendah hati. Jaga sopan santun, jaga keharmonisan keluarga besar kita — keluarga almarhum H. Sariyo, ibu Sonah, dan ibumu sendiri.”

Suara petir terdengar jauh di kejauhan, menyusul dengan rinai hujan yang makin halus. Di antara suasana itu, Warsito kembali melanjutkan nasihatnya dengan suara yang lebih pelan.

“Kamu juga harus menghormati keluarga mas Budi yang lebih tua. Minta bimbingan dari mereka. Dalam hidup, kamu tidak bisa berjalan sendiri. Belajarlah dari mereka yang lebih berpengalaman.”

Warsito menatap Alma, kali ini matanya berkaca-kaca.

“Yang perlu mas War ingatkan, perjuangan ibumu luar biasa. Kamu mungkin belum tahu semuanya, tapi cukup kamu pahami — beliau pernah berjuang di titik paling sulit demi kamu bisa sampai di hari ini. Maka taatlah, hormatilah, karena itu kunci kesuksesanmu dan keluargamu nanti.”

Alma mengangguk, tak mampu menjawab. Hanya tangis kecil yang terdengar, seiring dengan hujan yang mulai mereda.

Warsito tersenyum, lalu berkata pelan,

“Meskipun ibumu hanya seorang pekerja serabutan, seorang petani kecil, tapi dari tangannya kamu tumbuh menjadi anak yang baik. Itu sudah cukup bagi seorang ibu. Jangan pernah malu akan asalmu. Hargai perjuangannya, karena dari situlah keberkahanmu dimulai.”

Ia berhenti sejenak, memandangi wajah Alma yang basah oleh air mata.

“Dari masmu yang selalu mencintaimu dan keluargamu…” katanya, suaranya nyaris bergetar.

“Semoga langkahmu nanti selalu dalam lindungan Tuhan. Semoga rumah tanggamu penuh cinta, kesetiaan, dan keberkahan.”

Alma menunduk dan memeluk kakaknya erat. Hujan perlahan berhenti, menyisakan suara katak di kejauhan dan aroma tanah basah yang menenangkan.
Malam itu, di bawah langit Sragen yang lembab dan sunyi, cinta dan doa seorang kakak mengalir lembut ke dalam hati seorang adik yang akan segera menapaki kehidupan baru.

Dan di antara rintik hujan yang tersisa, nasihat itu abadi — menjadi bagian dari perjalanan hidup Alma Tika Sari, gadis sederhana yang dibesarkan oleh kasih dan dikuatkan oleh doa.

Sragen, 18 Oktober 2025
— Keluarga Besar PT Berita Istana Negara

Penulis: Warsito
Sang Penulis Joko Widodo,Gibran Rakabuming Raka, Prabowo Subianto, Sigit Pamungkas dan Ahmad Luthfi

Share This Article
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *