Sragen, Jawa Tengah | Tidak ada hujan, tidak ada angin, tiba-tiba pimpinan redaksi media group yang dikelola oleh PT Berita Istana Negara, Warsito, menerima pesan dari nomor baru yang mengaku sebagai Poniman, Kepala Desa Donoyudan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen.
Peristiwa itu terjadi pada Selasa (21/10/2025) sekitar pukul 09.53 WIB. Dalam percakapan awalnya, Poniman memperkenalkan diri secara sopan dan menanyakan kabar redaksi. Namun, obrolan kemudian melebar menyinggung pemberitaan Puskesmas Kalijambe yang sempat viral di akun TikTok @MataJateng dan berbagai media online.
Poniman bahkan sempat menanyakan posting-an di Facebook milik Riyan Sunan yang menautkan berita berjudul:
“Kebobrokan Puskesmas Kalijambe Terbongkar, Warga Sragen Ikut Senang Ada yang Berani Bongkar.”
Dalam unggahan tersebut, akun itu menulis narasi keras:
“Kalau tidak mau bebenah, di-demo saja! Masih banyak orang yang mau mengabdi untuk masyarakat Kalijambe. Kalian digaji bukan untuk leha-leha!”
Permintaan Mengejutkan: “Tolong Dibantu, Berita di Kalijambe Dihapus”
Sekitar pukul 14.29 WIB, redaksi Berita Istana kembali dikejutkan dengan pesan WhatsApp dari nomor Poniman yang bertuliskan:
“Tolong dibantu media itu, berita dihapus. Kalijambe biar tenang dan kondusif.”
Pesan itu sontak mengejutkan redaksi. Warsito, selaku pimpinan redaksi, langsung membalas tegas:
“Sampeyan selaku kades tidak mempunyai kapasitas untuk menghapus berita. Kalau ingin klarifikasi, silakan datang ke kantor kami.”
Tokoh Hukum: Tidak Ada Kewenangan Siapa Pun Menghapus Berita : Menanggapi hal tersebut, Panji Riyadi, S.H., M.H., tokoh hukum Jawa Tengah, angkat bicara. Ia menegaskan bahwa tidak ada satu pun pihak—termasuk kepala desa—yang berhak meminta penghapusan berita.
“Wartawan telah dilindungi oleh undang-undang pers. Pemberitaan yang memenuhi kode etik jurnalistik tidak bisa dihapus hanya karena permintaan sepihak,” tegas Panji.
Panji juga menilai permintaan tersebut patut dicurigai, mengingat Poniman disebut pernah terlibat persoalan dengan warga terkait sengketa tanah beberapa tahun lalu.
Jejak Anggaran Desa Donoyudan yang Perlu Diaudit : Selain persoalan etik, muncul pula sorotan publik terhadap anggaran Dana Desa Donoyudan yang dinilai perlu diaudit karena nominalnya cukup besar dan realisasinya menimbulkan tanda tanya.
Data penggunaan dana desa Donoyudan:
Tahun 2024
Pembangunan/Peningkatan Jalan Usaha Tani — Rp 109.007.500
Sarana & Prasarana Kepemudaan dan Olahraga Milik Desa — Rp 178.082.000
Keadaan Mendesak — Rp 79.200.000
Tahun 2023
Penguatan Ketahanan Pangan (Lumbung Desa) — Rp 50.929.000
Penguatan Ketahanan Pangan (tahap II) — Rp 148.810.000
Sarana & Prasarana Kepemudaan dan Olahraga — Rp 537.089.000
Tahun 2022
Pembangunan Saluran Irigasi Tersier — Rp 87.795.000
Pembangunan Irigasi Tahap Lanjutan — Rp 74.910.000
Sarana Kepemudaan dan Olahraga — Rp 188.763.000
Panji menegaskan bahwa pengawasan harus diperketat, terutama karena ada dugaan mark up anggaran dan ketidaksesuaian pekerjaan proyek di lapangan.
“Sosok Poniman ini adalah mantan anggota DPRD. Justru karena itu, seharusnya lebih memahami aturan dan transparansi anggaran. Bukan malah menekan media untuk diam,” ujarnya tegas.
Pimpinan Redaksi Media Group PT Berita Istana Negara, Warsito, menegaskan bahwa Desa Donoyudan memiliki catatan hitam yang sempat viral di berbagai media online. Ia menilai, kasus ini menjadi bukti lemahnya penegakan hukum di tingkat daerah apabila tidak segera ditindaklanjuti secara tegas.
“Desa Donoyudan sendiri mempunyai catatan hitam seperti yang viral di berbagai media. Kasus dugaan surat kematian palsu ini sudah bergulir sejak lama, tapi penanganannya terkesan lamban,” tegas Warsito, Rabu (22/10/2025).
Kasus yang menimpa Pemerintah Desa Donoyudan sejatinya sudah dilakukan gelar perkara sejak tahun 2023 di Polda Jawa Tengah. Namun hingga kini, kasus tersebut masih menjadi “bola panas” dan belum ada kejelasan hukum.
Menurut informasi yang dihimpun KopiPagi, setidaknya dua perangkat desa telah dipanggil oleh penyidik Polres Sragen untuk dimintai keterangan, yakni Kaur Kesra Lasiman pada Selasa (25/06/2024) dan Kepala Dusun Maryono pada Rabu (26/06/2024).
Dari hasil konfirmasi dengan Kejaksaan Negeri Sragen, diketahui hingga saat ini belum ada pelimpahan berkas perkara dari Polres Sragen. Sejauh mana progres penyelidikan dan penyidikan juga belum diketahui publik.
Kasus ini dinilai lamban bahkan jalan di tempat, sebab hingga kini masih dalam tahap penyelidikan dan belum P-21.
Sementara itu, Kepala Dusun (Kadus) Bendo, Aryono, saat ditemui KopiPagi di kediamannya pada Kamis (27/06/2024) menjelaskan bahwa dirinya dalam program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) telah menjalankan tugas sesuai prosedur yang berlaku.
“Ya, memang betul saat program PTSL Kadus itu menjadi koordinator. Tugas saya yang pertama adalah sosialisasi dan yang kedua mengumpulkan berkas yang mencakup SPPT, fotokopi KK, fotokopi KTP, dan pipil pajak,” jelasnya.
Menurut Aryono, seluruh berkas kemudian dikumpulkan dalam map dan diserahkan ke panitia desa.
“Jika pemberkasan sudah masuk ke panitia, koordinator sudah tidak ikut mengurusi. Kalau ada kekurangan, saya hanya sebatas memberi arahan. Pemberkasan selanjutnya diurus oleh Danang, Kaur Pemerintahan,” terangnya.
Ketika dikonfirmasi mengenai siapa yang mengajukan permohonan program PTSL tahun 2020 yang berkaitan dengan tanah milik Samidin, Aryono membeberkan bahwa yang mengajukan persyaratan saat itu adalah Supardi, Suprapto, dan Supriyanto.
Terkait ugeran (jual beli tanah) antara Samidin (pemilik tanah) dengan Srimulyani (pembeli) pada tahun 2013, Aryono mengaku tidak menyaksikan langsung proses transaksi tersebut.
“Waktu itu saya dipanggil oleh kepala desa, Bu Sarti. Saya hanya diminta tanda tangan sebagai saksi tanpa membaca isi surat karena saya percaya kepada kepala desa,” ujarnya.
Aryono juga menegaskan bahwa surat keterangan kematian atas nama Samidin belum ada saat dirinya menyerahkan pemberkasan PTSL. Surat tersebut baru ramai diperbincangkan belakangan.
“Setahu saya, yang mengetik surat keterangan kematian itu bagian pemberkasan, ya Danang itu. Padahal secara manual surat kematian itu seharusnya berwarna kuning dan ditulis tangan. Tapi di berkas itu bentuknya ketikan dengan tanggal berbeda-beda sebanyak empat lembar,” tegasnya.
Dalam kesempatan terpisah, Anung Yulianto, SH, selaku kuasa hukum dari Samidin dan Srimulyani, saat dikonfirmasi melalui telepon pada Jumat (28/06/2024) membenarkan bahwa kasus tersebut masih dalam tahap penyelidikan di Polres Sragen.
“Benar, kasusnya belum P-21 dan tersangkanya juga belum ditahan,” jelas Anung.
Kasus ini menjadi contoh nyata pentingnya menjaga kebebasan pers di tengah dinamika sosial-politik desa. Media tidak boleh dibungkam, dan pejabat publik harus siap dikritik.
Transparansi, akuntabilitas, dan tanggung jawab moral adalah kunci agar kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah desa tetap terjaga.
Penulis: iTO