Petani Bayam Asal Grobogan, Anaknya Sukses Jadi TNI dan Perawat

Berita Istana
3 Min Read

Grobogan, Jawa Tengah – Di tengah hamparan sawah dan semilir angin sore Dukuh Sawung, Desa Kebonagung, Kecamatan Tegowanu, tersimpan kisah mengharukan dan penuh inspirasi dari sepasang petani sederhana: H. Supadi, yang akrab disapa Haji Gendut, dan istrinya, Hajah Siti Fatonah, atau yang akrab disapa Mbah Tiok.

Pasangan ini telah lama menggantungkan hidup dari menanam bayam di lahan tak seberapa luas—hanya sekitar 500 meter persegi. Namun dari tanah kecil itulah, mereka berhasil menyekolahkan dua anak hingga sukses meniti karier sebagai abdi negara dan tenaga kesehatan.

Anak pertama mereka, Basuki, kini menjadi anggota TNI aktif yang bertugas di Binjai, Medan, Sumatera Utara sejak tahun 2004. Sementara adiknya, Sri Ambarwati, kini menjadi perawat di Puskesmas Karangawen, Kabupaten Demak. Dua nama yang menjadi kebanggaan keluarga sederhana itu.

Pada hari Jumat pukul 16:45 WIB, tim Berita Istana menyempatkan diri berkunjung ke ladang milik Mbah Tiok. Sambil duduk di bawah pohon mangga, Mbah Tiok bercerita panjang tentang kehidupannya sebagai petani bayam sejak tahun 1995—tahun-tahun awal ia berjuang bersama suami untuk membesarkan anak-anaknya.

“Bayem ini, meski sederhana, tapi dari sinilah anak-anakku bisa sekolah tinggi. Setiap 23 hari sekali panen, dan langsung saya bawa ke pasar Karangawen,” kenangnya dengan mata berkaca-kaca.

Kini usia Mbah Tiok telah menginjak 55 tahun. Meski fisiknya tak sekuat dulu, semangatnya tetap menyala. Ia mengajarkan bahwa menjadi petani tak harus punya lahan luas, melainkan cukup tahu cara mengelola lahan agar cepat menghasilkan.

“Petani itu yang penting tekun, nggak harus punya sawah hektar-hektaran. Yang penting bisa panen cepat, hasilnya untuk anak-anak,” tutur beliau sambil tersenyum haru.

Ketika Direktur Utama PT Berita Istana Negara melakukan kunjungan ke Pondok Pesantren Hidayatus Shibyan Brabo, Tanggungharjo, Grobogan, ia menyempatkan jalan-jalan ke kampung Mbah Tiok. Hamparan lahan di kanan kiri yang ditanami tembakau tampak hijau menyegarkan mata. Di depan mata melihat kereta yang melintas dan suara kereta api rute Malang–Jakarta sesekali terdengar, melintasi rel yang berada tak jauh dari ladang milik keluarga sederhana itu.

“Lihat anak saya pakai seragam TNI, rasanya kaya mimpi. Dulu saya dan suami nyangkul berdua, ngirit makan, biar anak bisa sekolah. Tapi ya itu tadi, Gusti Allah itu Maha Adil,” ucap Mbah Tiok dengan suara pelan menahan tangis.

Kisah Mbah Tiok dan suaminya bukan hanya tentang bayam, tanah, dan pasar. Tapi tentang kesabaran, perjuangan, dan cinta yang tulus dari dua orang tua yang tak menyerah pada keadaan.

Hari itu, sore terasa sejuk. Langit memerah perlahan. Tapi di hati kami yang mendengar cerita itu, terasa hangat. Sebuah pelajaran hidup dari petani desa yang berhasil menghantarkan anak-anaknya menembus kerasnya hidup dengan ketekunan dan doa.

Penulis: iTO

Share This Article
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *