Restoran Mewah di Sultan Agung Disoal

Berita Istana
2 Min Read

Semarang|29/September/2025 – Bangunan restoran mewah di Jalan Sultan Agung No. 79 Kota Semarang kini jadi sorotan tajam. Alih-alih menjadi ikon kuliner, proyek bernilai fantastis itu justru dituding sarat pelanggaran hukum. Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Lembaga Aliansi Indonesia (LAI) Jawa Tengah pun melayangkan aduan resmi ke Balai Kota, Senin (29/9/2025).

Ketua DPD LAI Jateng, Yoyok Sakiran, menuding bangunan tersebut berdiri di atas sederet pelanggaran aturan yang mencoreng wibawa pemerintah.

“Bangunan restoran Sultan Agung No. 79 patut diduga melanggar ketentuan GSB dan PBG. Kami desak agar segera dilakukan penertiban hingga pembongkaran. Jika tidak, sama saja Pemkot memberi contoh buruk bahwa hukum bisa dinegosiasikan,” tegas Yoyok.

Dalam laporan tertulis, LAI merinci kepemilikan tanah atas nama R.Y. Kristian Hardianto dan Nyauw Farida dengan luas lebih dari 2.200 meter persegi. Meski PBG diterbitkan pada 16 Mei 2023 dengan pelaksana RAH Kontraktor, implementasi di lapangan jauh dari aturan. Garis sempadan bangunan diterobos, dan galian basement untuk parkiran dianggap sebagai bentuk penyalahgunaan izin.

Lebih gawat lagi, aktivitas galian tanah dan batuan dalam skala besar disebut dilakukan tanpa izin pertambangan khusus.

“Kami sudah kantongi bukti resmi dari Dinas PTSP dan Dinas ESDMN Jawa Tengah: izin pertambangan tidak pernah diterbitkan. Lalu siapa yang melindungi?” sindir Yoyok.

Fakta ini kian menohok ketika diungkap bahwa dugaan pelanggaran tersebut dibiarkan lebih dari satu tahun tanpa tindakan nyata.

“Dinas Penataan Ruang Kota Semarang seolah menutup mata. Publik wajar bertanya: apakah ada kekebalan hukum di balik bangunan restoran mewah itu?” lanjutnya.

Aduan ini ditujukan langsung kepada Wali Kota Semarang, Agustina Wilujeng Pramestuti, dengan harapan kepemimpinan baru berani bersikap.

“Kami minta Ibu Wali Kota jangan mewarisi pembiaran. Tertibkan, tindak, dan robohkan bangunan yang jelas-jelas melanggar hukum,” tandas Yoyok.

Kasus ini membuka mata publik bahwa investasi dan pembangunan tak boleh dijadikan tameng untuk melabrak aturan. Jika Pemkot tetap diam, wibawa hukum hanya akan jadi formalitas—sementara bangunan bermasalah terus menjulang angkuh di jantung Kota Semarang.

Share This Article
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *