Boyolali — Di balik gedung pelayanan yang tampak tertib dan berwibawa, aroma pungli diduga menyelinap tajam di lingkungan Satpas Polres Boyolali. Penelusuran tim Tinta Hukum Investigasi mengungkap adanya praktik percaloan yang mampu “meloloskan” pemohon Surat Izin Mengemudi (SIM) tanpa tes, hanya dengan membayar tarif yang telah ditentukan. Harga yang ditawarkan tak tanggung-tanggung: mulai dari Rp800 ribu hingga hampir menyentuh Rp1 juta untuk SIM A.
Warga: Gagal Tes, Lalu Ditawari Jalur Kilat Tanpa Ujian. Dalam rangkaian investigasi lapangan yang dilakukan pada awal November 2025, tim menemukan indikasi kuat bahwa praktik pungli bukan sekadar rumor, tetapi diduga telah berlangsung terstruktur di sekitar area Satpas.
Seorang warga Boyolali, yang meminta identitasnya disamarkan, mengaku menjadi korban sistem gelap tersebut.
“Iya, Mas. Bulan Agustus 2025 saya bikin SIM A. Awalnya ikut tes resmi, tapi gagal. Kakak saya menyarankan ketemu calo. Karena butuh SIM itu, akhirnya saya nurut,” ungkapnya.
Warga itu kemudian dipertemukan dengan sosok berinisial K, yang langsung menawarkan proses cepat tanpa prosedur resmi.
“Dia bilang, kalau mau cepat, Rp950 ribu, pasti langsung jadi tanpa tes. Saya keberatan. Tawar-menawar sebentar, akhirnya dikasih harga Rp800 ribu,” katanya.
Kesaksian ini semakin menguatkan dugaan adanya jaringan percaloan yang sudah memahami celah dan memiliki akses ke dalam sistem pelayanan SIM.
Calo Diduga Terorganisir, Berkeliaran di Area Pelayanan ; Tim Tinta Hukum Investigasi juga menemukan keberadaan beberapa individu mencurigakan di area luar Satpas. Mereka terlihat aktif mendekati pemohon, menawarkan bantuan pengurusan SIM dengan embel-embel “bisa bantu sampai jadi”.
Kemunculan mereka bukan hal baru, namun yang mencengangkan adalah konsistensi operasional mereka di area yang seharusnya steril dari percaloan.
Praktik percaloan seperti ini tidak hanya melanggar prosedur internal Polri, tetapi juga membuka ruang dugaan keterlibatan oknum dalam tubuh institusi.
Berpotensi Melanggar UU: Ancaman Penjara 4–20 Tahun
Jika dugaan pungli terbukti, maka perbuatan tersebut termasuk tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 12 huruf e dan Pasal 11 UU Tipikor, dengan ancaman:
Penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun,
Denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Selain itu, praktik percaloan dan pungutan liar di ruang publik jelas menabrak Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satgas Saber Pungli, yang secara tegas melarang segala bentuk pungutan tidak resmi dalam pelayanan publik.
Ironisnya, di tengah kampanye besar Polri soal pelayanan bersih, transparan, dan bebas calo, temuan ini menunjukkan fakta yang berbanding terbalik. Bagai dua wajah dalam satu institusi, pelayanan publik di level akar rumput justru diduga masih menyimpan ruang gelap yang memalukan.
Jika dibiarkan, praktik seperti ini bukan hanya merusak citra lembaga, tetapi juga mencederai semangat Presisi yang digaungkan Kapolri sebagai wajah baru reformasi Polri.
Setelah laporan ini dipublikasikan, tim Tinta Hukum Investigasi segera mengajukan permohonan konfirmasi kepada pihak internal Satpas Polres Boyolali serta pihak terkait lainnya untuk memastikan kebenaran informasi ini, sehingga pemberitaan tetap berimbang dan memenuhi prinsip check and recheck sebagaimana kaidah jurnalistik.
Kini bola berada di tangan Polres Boyolali. Publik menunggu langkah tegas—apakah institusi akan membongkar jaringan yang diduga bermain di balik pelayanan SIM, atau justru menutup mata.
Satu hal pasti: pungli bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan masyarakat.(*)