Kampar | Sorotan tajam terhadap kinerja Kejaksaan Negeri (Kejari) Bangkinang kembali mencuat. Tim Investigasi Badan Advokasi Indonesia (BAI) menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam praktik pemberian hibah kepada instansi vertikal, khususnya terkait Kejari Bangkinang.
Ali Halawa dari BAI mempertanyakan efektivitas penegakan hukum oleh Kejari Kampar. Ia menilai, potensi konflik kepentingan bisa muncul akibat ketergantungan terhadap fasilitas yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kampar melalui mekanisme hibah. Menurutnya, kondisi ini dapat menghambat ketegasan kejaksaan dalam menjalankan fungsi penegakan hukum.
“Jika setiap tahun kejaksaan masih menerima hibah dari pemerintah daerah, bagaimana publik bisa berharap penindakan hukum berjalan tegas tanpa kompromi?” tegas Ali Halawa.
Pemberian hibah sejatinya diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Pasal 298 ayat 5 menyebutkan bahwa belanja hibah dapat diberikan kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah lain, BUMN/BUMD, maupun organisasi kemasyarakatan berbadan hukum Indonesia.
Pemerintah daerah dapat memberikan hibah untuk mendukung pembangunan, dengan catatan harus selektif, tidak bersifat mengikat atau terus-menerus, serta menyesuaikan kemampuan keuangan daerah. Namun, regulasi tersebut menuntut agar hibah dipastikan urgensinya bagi kepentingan masyarakat luas.
Keterlibatan Kejaksaan Negeri dalam menerima hibah menimbulkan pertanyaan mengenai independensi lembaga penegak hukum. Hal ini terutama sensitif ketika muncul dugaan tindak pidana korupsi di tubuh pemerintahan daerah.
Ali Halawa menilai, penerimaan hibah justru berpotensi melemahkan sikap tegas kejaksaan. Publik khawatir, dana hibah yang semestinya untuk mendukung pembangunan malah menjadi alat untuk melembutkan pengawasan terhadap pemerintah daerah.
Prinsip transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci dalam setiap pemberian hibah. Pemerintah daerah dituntut memastikan kejelasan aturan, sasaran, jumlah, waktu, dan manfaat penggunaan dana hibah. Audit yang independen pun menjadi aspek penting agar regulasi benar-benar dijalankan dengan baik.
Sebagai lembaga penegak hukum, Kejari Kampar memiliki posisi strategis dalam menjaga supremasi hukum. Dipimpin oleh Kepala Kejaksaan Negeri, lembaga ini bertugas mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan, terutama dalam penuntutan perkara.
Kepercayaan publik menjadi modal utama kejaksaan. Namun, persepsi bahwa lembaga ini tidak independen berpotensi menggerus legitimasi dan efektivitasnya dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Selain penuntutan, Kejari Kampar juga memiliki Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun). Seksi ini berperan dalam penegakan, bantuan, pertimbangan, hingga pelayanan hukum bagi negara, pemerintah, dan masyarakat. Fungsi tersebut mencakup pemberian bantuan hukum, gugatan terkait kerugian negara, hingga pengendalian kebijakan teknis di bidang perdata dan tata usaha negara.
Secara ideal, hibah seharusnya menjadi sarana mendukung pembangunan daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Kolaborasi antara pemerintah daerah dengan instansi vertikal semestinya diarahkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan aset serta mempercepat kesejahteraan masyarakat, bukan justru menimbulkan persoalan baru.
(UG)