Jakarta – Di tengah riuh sejarah dan panggung kepemimpinan Indonesia, ada satu nama yang lahir jauh dari sorotan kota namun pelan-pelan menjejak dalam dunia literasi tokoh bangsa: Warsito. Ia bukan akademisi besar, bukan pula pengamat politik papan atas. Warsito adalah seorang penulis dari pinggiran Sragen yang menjadikan tinta sebagai kapal, dan kisah para pemimpin sebagai lautan tempat ia berlayar.
Warsito dikenal sebagai penulis yang mengangkat kisah figur-figur besar Indonesia. Dalam deretan tokoh yang pernah ia tulis, terdapat nama presiden ke-7 Joko Widodo, wakil presiden Gibran Rakabuming Raka, presiden Prabowo Subianto, Bupati Sragen Sigit Pamungkas, Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi, Kapolda Jatim Irjen Pol Imam Sugiyanto, Staf Khusus Utusan Presiden Sholeh Ahmad Efendi, dan masih banyak nama penting lain yang perjalanannya ia catat melalui tulisan.
Baginya, kisah pemimpin bukan sekadar daftar jabatan dan kehebatan. Ia menelusuri asal muasal perjuangan, ruang-ruang kecil tempat cita-cita tumbuh, dan langkah pertama yang sering kali diselimuti tanah debu kampung, bukan lampu sorot.
Salah satu figur yang paling kuat menginspirasi dunia penulisan Warsito adalah Presiden Joko Widodo. Kisah Jokowi sendiri sudah lebih dulu hadir dalam karya seni nasional, mulai dari novel Jokowi Si Tukang Kayu (2012) karya Gatotkoco Suroso hingga film Jokowi (2013) yang disutradarai Azhar Kinoi Lubis. Film tersebut diperankan oleh Teuku Rifnu Wikana dan Prisia Nasution, menampilkan potret kehidupan sederhana Jokowi kecil di bantaran sungai, belajar dari keterbatasan, dan menjadikan musik rock sebagai bahan bakar semangat dalam merajut impian besar.
Kisah Jokowi menggambarkan tidak ada mimpi yang terlalu jauh bagi mereka yang memeluk kejujuran, ketekunan, dan keberanian berjalan tanpa menyerah. Nilai yang sama pula yang seolah hidup di dalam Warsito. Ia menulis bukan dari ruang kantor luas, melainkan dari ruang sederhana di tanah Sukowati. Namun justru dari ruang kecil itu ia mengirimkan sudut pandang besar tentang negeri.
Langkah Warsito mengabadikan perjalanan tokoh-tokoh bangsa menjadi panggilan batin. Baginya, tokoh adalah wajah perjalanan negara, dan tulisan adalah jembatan yang menghubungkan mereka dengan rakyat. Lewat kalimatnya, ia mengajak pembaca melihat pemimpin bukan hanya saat berdiri di podium, tetapi juga ketika masih melangkah sebagai anak desa yang membawa mimpi dalam saku kecil.
Tulisan Warsito menjadi bukti bahwa suara dari pinggiran bisa masuk ke pusat cerita negara. Bahwa siapa pun yang setia pada pena, kerja keras, dan niat baik bisa ikut menulis babak bangsa, meski berasal dari sudut desa yang sepi.
Artikel ini ditulis iTO, suara kecil dari pinggiran, yang percaya bahwa cerita besar negara dimulai dari langkah kecil anak kampung yang berani bermimpi.