Asep Kuncir: Kendang, Kesunyian, dan Jalan Panjang Seorang Ayah

Berita Istana
3 Min Read

Sragen – Di balik dentuman kendang yang meriah dan sorak sorai penonton, tersimpan kisah sunyi seorang seniman jalanan yang melanglang buana demi nada, demi nafkah, dan demi anak yang dicintainya.

Namanya Asep Kuncir, pria kelahiran Mojodoyong, Kedawung, Sragen, Jawa Tengah. Sejak duduk di bangku kelas 3 SD, tangan kecilnya sudah lihai menabuh kendang. Tak pernah ada guru, tak pernah ada pelatih—hanya suara hati dan semangat yang tak pernah padam. “Saya otodidak, Mas. Cuma lihat orang ngetok kendang, langsung ikut-ikut. Eh, keterusan sampai sekarang,” ucap Asep dengan senyum tipis, saat ditemui oleh tim media PT Berita Istana Negara di bengkel AS Audio Car miliknya, yang berlokasi di Jl. Sragen–Batu Jamus KM 12, Kios Renteng (Lor Pom Bensin Botok).

Nomor WhatsApp-nya masih aktif: 0878-8693-9115, tempat di mana job dan pesanan audio mobil berdatangan, menggantikan gegap gempita panggung yang dulu pernah jadi rumahnya.

Asep bukan nama asing bagi dunia musik tradisional, khususnya campursari. Namanya harum di Jabodetabek. Kendangnya sudah menggema di Lampung, Palembang, Manado, Makassar, hingga berbagai penjuru Kalimantan. Ia bercerita, darah seni sudah mengalir dari sang kakek yang seorang dalang, meski hidup membawanya ke arah yang berbeda.

Namun di balik gemerlap perjalanan itu, tersimpan cerita getir yang tak banyak diketahui orang.

“Saya bawa anak perempuan saya ikut manggung, waktu dia masih kelas dua SD. Soalnya saya sudah pisah sama istri. Ndak ada yang jaga,” tutur Asep, suaranya mulai bergetar. “Saya main kendang, anak saya duduk di pinggir panggung. Kadang ngantuk, kadang tanya, ‘Ayah, pulangnya kapan?’ Itu paling berat…”

Dibalik tawa penonton, Asep menyembunyikan rindu, lelah, dan luka yang hanya bisa disalurkan lewat tabuhan kendang. Banyak malam ia tidur di teras panggung, beralaskan tikar, menanti pagi demi bisa kembali bekerja. Status duda yang disandangnya membuat hidup lebih keras—ia harus jadi ayah dan ibu sekaligus.

Kini, Asep perlahan meninggalkan panggung. Ia memilih fokus pada usahanya di bidang audio mobil. Namun, sesekali, jika ada acara yang benar-benar memanggil jiwanya, kendang tua itu kembali dipanggulnya, dan Asep Kuncir pun kembali bernyanyi lewat tabuhan.

“Saya nggak pernah nyesel. Hidup ini ya gitu. Kadang rame, kadang sepi. Tapi asal anak saya bisa sekolah, bisa bahagia, saya nggak minta apa-apa lagi.”

Asep Kuncir, bukan sekadar penabuh kendang. Ia adalah potret dari banyak ayah yang berjuang dalam diam. Yang tabuhannya tak sekadar musik, tapi nyawa—dan cinta yang tak pernah pudar.

Penulis: iTO

Share This Article
Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *